Profil Lengkap R.A Kartini dan
Kumpulan Buku serta Suratnya
Biografi
Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April
1879 – meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun)
atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini[1] adalah seorang tokoh
Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor
kebangkitan perempuan pribumi.
R.A Kartini, atau nama panjangnya Raden Adjeng Kartini
adalah pahlawan emansipasi wanita R.A Kartini sebenarnya lebih tepat disebut
Raden Ayu Kartini.
Raden Adjeng Kartini adalah keturunan dari kalangan priyayi
(kelas bangsawan Jawa) putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, yang
menjabat sebagai bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama,
namun bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji
Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, beliau seorang guru agama di Telukawur,
Jepara. Dari garis keturunan ayahnya, Kartini dapat dilacak hingga
Hamengkubuwana VI.
Ayah Kartini pada awalnya adalah
seorang wedana di daerah Mayong. Peraturan kolonial pada waktu itu mengharuskan
seorang bupati harus beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukan
dari bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah dengan Raden Adjeng Woerjan
(Moerjam), keturunan langsung dari Raja Madura. Setelah perkawinan itu, ayah
Kartini diangkat sebagai bupati di Jepara mengganti kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A.
Tjitrowikromo.
Kartini anak ke-5 dari 11
bersaudara baik kandung maupun tiri. Dari semua saudara kandung, Kartini adalah
anak perempuan paling tua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat
sebagai bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang
yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai umur 12 tahun, Kartini diijinkan
sekolah di ELS (Europese Lagere School) sehingga Kartini berkempatan belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah umur
12 tahun, ia diharuskan tinggal di dalam rumah (dipingit).
Karena Kartini bisa rbahasa
Belanda, maka di rumah ia mulai belajar secara mendiri dan menulis surat kepada
teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa
Abendanon yang banyak mendukung. Dari buku , koran, dan majalah terbitan Eropa,
Kartini menjadi tertarik pada kemajuan berpikir para perempuan Eropa. Timbul
keinginan untuk memajukan para perempuan pribumi, karena ia melihat perempuan pribumi berada dalam status sosial
yang rendah.
Kartini sering membaca surat
kabar Semarang De Locomotief yang diasuh oleh Pieter Brooshooft, ia juga
menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan).
Di antaranya terdapat majalah mengenai kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang
cukup berat,ada juga majalah wanita
Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan
tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya nampak bahwa
Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian dan catatan-catatan. Terkadang
Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat.
Perhatiannya tidak hanya soal emansipasi wanita, tapi juga tentang masalah
sosial umum. Kartini melihat perjuangan paravwanita agar bisa memperoleh
kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih
luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max
Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah
dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus.
Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang
sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan
sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder
(Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Oleh orangtuanya, Kartini
disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo
Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada
tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini
diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu
gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini
digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Anak pertama dan sekaligus
terakhirnya, Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September
1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu,
Kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah
Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya,
Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut
adalah “Sekolah Kartini”. Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van
Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
Pemikiran
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya
tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi.
Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut
budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin
wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan
cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf-
vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar
Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan
Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan
Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh
pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle "Stella"
Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda
Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat,
yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan
dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang
kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa
yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah
menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap
saja pintu untuk ke sana
tertutup. Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih
terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam
mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat
juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan
Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan
Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah
kedokteran di Betawi.
Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke
Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya
mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya
Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya
kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke
Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya
Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun,
niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya
Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah.
"...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan
kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin..." Padahal saat itu
pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini
dan Rukmini untuk belajar di Betawi.
Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian
Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan
membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi
para perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan
bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran
Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar
Kartini dapat menulis sebuah buku.
Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah
lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi,
bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi,
dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini
ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati Rembang.
Kontroversi
Penetapan tanggal kelahiran
Kartini sebagai hari besar juga agak diperdebatkan. Pihak yang tidak begitu
menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini saja, namun
merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember. Alasan mereka
adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya,
karena masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini
seperti Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu,Dewi Sartika dan
lain-lain.Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan
Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah.
Sikapnya yang pro terhadap poligami juga bertentangan dengan pandangan kaum
feminis tentang arti emansipasi wanita. Dan berbagai alasan lainnya. Pihak yang
pro mengatakan bahwa Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang
mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja, melainkan adalah tokoh nasional;
artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk
kepentingan bangsanya. Cara
pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional.
Kematian Kartini yang mendadak juga menimbulkan spekulasi
negatif bagi sebagian kalangan. Seperti diketahui dalam sejarah, Kartini
meninggal pascamelahirkan, tepatnya 4 hari setelah melahirkan. Ketika Kartini,
mengandung bahkan sampai melahirkan, dia tampak sehat walafiat. Hal inilah yang
mengandung kecurigaan. Efatino Febriana, dalam bukunya “Kartini Mati Dibunuh”,
mencoba menggali fakta-fakta yang ada sekitar kematian Kartini. Bahkan, dalam
akhir bukunya, Efatino Febriana berkesimpulan, kalau kartini mamang mati karena
sudah direncanakan. Demikian pula Sitisoemandari dalam buku "Kartini,
Sebuah Biografi", menduga bahwa Kartini meninggal akibat permainan jahat
dari Belanda. Permainan jahat dari Belanda ingin agar Kartini bungkam dari
pemikiran-pemikiran majunya yang ternyata berwawasan kebangsaan.
Ketika Kartini melahirkan, dokter yang menolongnya adalah Dr
van Ravesten, dan berhasil dengan selamat. Selama 4 hari pascamelahirkan,
kesehatan Kartini baik-baik saja. Empat hari kemudian, dr van Ravesten menengok
keadaan Kartini, dan ia tidak khawatir akan kesehatan Kartini. Ketika Ravesten
akan pulang, Kartini dan Ravesten menyempatkan minum anggur sebagai tanda
perpisahan. Setelah minum anggur itulah, Kartini langsung sakit dan hilang
kesadaran, hingga akhirnya meninggal dunia. Sayang, saat itu tak ada autopsi.
Meski demikian, pihak keluarga tidak mempedulikan desas-desus yang muncul
terkait kematian Kartini, melainkan menerima peristiwa itu sebagai takdir Yang
Mahakuasa. Sementara pendapat yang berbeda yang dinyatakan oleh para
dokter modern di era sekarang. Para dokter berpendapat Kartini meninggal karena
mengalami preeklampsia atau tekanan darah tinggi pada ibu hamil. Namun hal ini
juga tidak bisa dibuktikan karena dokumen dan catatan tentang kematian Kartini
tidak ditemukan
Nama jalan di Belanda
1. Utrecht:
Di Utrecht Jalan R.A. Kartini atau Kartinistraat merupakan salah satu jalan
utama, berbentuk 'U' yang ukurannya lebih besar dibanding jalan-jalan yang
menggunakan nama tokoh perjuangan lainnya seperti Augusto Sandino, Steve Biko,
Che Guevara, Agostinho Neto.
2. Venlo: Di Venlo
Belanda Selatan, R.A. Kartinistraat berbentuk 'O' di kawasan Hagerhof, di
sekitarnya terdapat nama-nama jalan tokoh wanita Anne Frank dan Mathilde
Wibaut.
3. Amsterdam: Di wilayah
Amsterdam Zuidoost atau yang lebih dikenal dengan Bijlmer, jalan Raden Adjeng
Kartini ditulis lengkap. Di sekitarnya adalah nama-nama wanita dari seluruh
dunia yang punya kontribusi dalam sejarah: Rosa Luxemburg, Nilda Pinto,
Isabella Richaards.
4. Haarlem: Di
Haarlem jalan Kartini berdekatan dengan jalan Mohammed Hatta, Sutan Sjahrir dan
langsung tembus ke jalan Chris Soumokil presiden kedua Republik Maluku Selatan.
Buku-Buku R.A Kartini
1. Habis Gelap Terbitlah Terang
Pada
1922, oleh Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa Melayu dengan judul
Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran. Buku ini diterbitkan oleh Balai
Pustaka. Armijn Pane, salah seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru, tercatat
sebagai salah seorang penerjemah surat-surat Kartini ke dalam Habis Gelap
Terbitlah Terang. Ia pun juga disebut-sebut sebagai Empat Saudara.Pada 1938,
buku Habis Gelap Terbitlah Terang diterbitkan kembali dalam format yang berbeda
dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht. Buku terjemahan
Armijn
Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu, suratsurat Kartini juga
pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Armijn Pane
menyajikan surat-surat Kartini dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya.
Ia membagi kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan.
Pembagian tersebut ia lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan atau perubahan
sikap dan pemikiran Kartini selama berkorespondensi. Pada buku versi baru
tersebut, Armijn Pane juga menciutkan jumlah surat Kartini. Hanya terdapat 87
surat Kartini dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Penyebab tidak dimuatnya
keseluruhan surat yang ada dalam buku acuan Door Duisternis Tot Licht, adalah
terdapat kemiripan pada beberapa surat. Alasan lain adalah untuk menjaga jalan
cerita agar menjadi seperti roman. Menurut Armijn Pane, surat-surat Kartini
dapat dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini pula yang menjadi
salah satu penjelasan mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke dalam lima bab
pembahasan.
2. Surat-surat
Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya.
Surat-surat
Kartini juga diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno. Pada mulanya Sulastin
menerjemahkan Door Duisternis Tot Licht di Universitas Leiden, Belanda, saat ia
melanjutkan studi di bidang sastra tahun 1972. Salah seorang dosen pembimbing
di Leiden meminta Sulastin untuk menerjemahkan buku kumpulan surat Kartini
tersebut. Tujuan sang dosen adalah agar Sulastin bisa menguasai bahasa Belanda
dengan cukup sempurna. Kemudian, pada 1979, sebuah buku berisi terjemahan
Sulastin Sutrisno versi lengkap Door Duisternis Tot Licht pun terbit.Buku
kumpulan surat versi Sulastin Sutrisno terbit dengan judul Surat-surat Kartini,
Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. Menurut Sulastin, judul terjemahan
seharusnya menurut bahasa Belanda adalah: “Surat-surat Kartini, Renungan
Tentang dan Untuk Bangsa Jawa”. Sulastin menilai, meski tertulis Jawa, yang
didamba sesungguhnya oleh Kartini adalah kemajuan seluruh bangsa Indonesia.
Buku terjemahan Sulastin malah ingin menyajikan lengkap surat-surat Kartini
yang ada pada Door Duisternis Tot Licht. Selain diterbitkan dalam Surat-surat
Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, terjemahan Sulastin Sutrisno
juga dipakai dalam buku Kartini, Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan
Suaminya.
2. Letters from Kartini, An Indonesian Feminist
1900-1904
Buku
lain yang berisi terjemahan surat-surat Kartini adalah Letters from Kartini, An
Indonesian Feminist 1900-1904. Penerjemahnya adalah Joost Coté. Ia tidak hanya
menerjemahkan surat-surat yang ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi
Abendanon. Joost Coté juga menerjemahkan seluruh surat asli Kartini pada Nyonya
Abendanon-Mandri hasil temuan terakhir. Pada buku terjemahan Joost Coté, bisa
ditemukan surat-surat yang tergolong sensitif dan tidak ada dalam Door
Duisternis Tot Licht versi Abendanon. Menurut Joost Coté, seluruh pergulatan
Kartini dan penghalangan pada dirinya sudah saatnya untuk diungkap.
Buku
Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904 memuat 108 surat-surat
Kartini kepada Nyonya Rosa Manuela Abendanon-Mandri dan suaminya JH Abendanon.
Termasuk di dalamnya: 46 surat yang dibuat Rukmini, Kardinah, Kartinah, dan
Soematrie.
4. Panggil Aku Kartini Saja
Selain
berupa kumpulan surat, bacaan yang lebih memusatkan pada pemikiran Kartini juga
diterbitkan. Salah satunya adalah Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya
Ananta Toer. Buku Panggil Aku Kartini Saja terlihat merupakan hasil dari
pengumpulan data dari berbagai sumber oleh Pramoedya.5. Kartini Surat-surat
kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya
Akhir
tahun 1987, Sulastin Sutrisno memberi gambaran baru tentang Kartini lewat buku
Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya. Gambaran
sebelumnya lebih banyak dibentuk dari kumpulan surat yang ditulis untuk
Abendanon, diterbitkan dalam Door Duisternis Tot Licht. Kartini dihadirkan
sebagai pejuang emansipasi yang sangat maju dalam cara berpikir dibanding
perempuan-perempuan Jawa pada masanya. Dalam surat tanggal 27 Oktober 1902,
dikutip bahwa Kartini menulis pada Nyonya Abendanon bahwa dia telah memulai
pantangan makan daging, bahkan sejak beberapa tahun sebelum surat tersebut,
yang menunjukkan bahwa Kartini adalah seorang vegetarian. Dalam kumpulan itu,
surat-surat Kartini selalu dipotong bagian awal dan akhir. Padahal, bagian itu
menunjukkan kemesraan Kartini kepada Abendanon. Banyak hal lain yang
dimunculkan kembali oleh Sulastin Sutrisno.
6. Aku Mau … Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat
Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903
Sebuah
buku kumpulan surat kepada Stella Zeehandelaar periode 1899- 1903 diterbitkan
untuk memperingati 100 tahun wafatnya. Isinya memperlihatkan wajah lain
Kartini. Koleksi surat Kartini itu dikumpulkan Dr Joost Coté, diterjemahkan
dengan judul Aku Mau … Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada
Stella Zeehandelaar 1899-1903. “Aku Mau …” adalah moto Kartini. Sepenggal
ungkapan itu mewakili sosok yang selama ini tak pernah dilihat dan dijadikan
bahan perbincangan. Kartini
berbicara tentang banyak hal: sosial, budaya, agama, bahkan korupsi.
Presiden Soekarno mengeluarkan
Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964,
yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus
menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati sebagai hari
besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Surat-Surat R.A Kartini
Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati Rembang.
Raden Adjeng Kartini atau disingkat
dengan RA Kartini merupakan seorang tokoh Indonesia
yang berhasil membangkitkan martabat kaum wanita Indonesia . dikenal dengan
emansipasi wanitanya, wanita yang lahir pada 21 april 1879 ini memperjuangkan
kebebasan wanita yang terhambat oleh kebudayaan di jawa. Dia berpendapat bahwa
kebudayaan yang ada di jawa pada saat itu menghambat kemajuan kaum wanita. Dia
ingin
Dia sendiri tidak diperbolehkan
melanjutkan studinya di tingkat yang lebih tinggi oleh orang tuanya. kemudian
dia di jodohkan dengan bupati asal rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo
Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Namun semua itu tidak
melunturkan niatnya untuk memperjuangkan perempuan pribumi di jawa. Dia
berhasil membangun sekolah wanita di semarang
pada 1912 dan kemudian di surabaya , malang dan daerah daerah
lain.
Perjuangan
RA Kartini tidak berhenti di itu itu saja. Dia mampu mengubah pandangan menir
menir belanda dengan pemikiran pemikirannya yang berisi tentang kondisi social
pada saat itu. Terutama kondisi perempuan pribumi. Dia menuangkan pemikirannya
tersebut dalam surat surat yang kemudian ia kirimkan ke De Hollandsche Lelie.
Dari
surat surat tersebut terdapat ungkapan ungkapan yang menggugah hati pembacanya.
Berikut ini 10 ungkapan isi surat kartini yang menggugah hati
1.
Surat Kartini kepada Stella, 18
Agustus 1899
“Bagi saya hanya ada dua macam keningratan,
keningratan fikiran (fikroh) dan keningratan budi (akhlak). Tidak ada manusia
yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi saya dari pada melihat orang
membanggakan asal keturunannya. Apakah berarti sudah beramal sholih orang yang
bergelar macam Graaf atau Baron?… Tidaklah dapat dimengerti oleh pikiranku yang
picik ini,…”
2. Surat
kartini kepada Nyonya Abendon, Agustus 1900
“Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya,
tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya”.
3. Surat
Kartini kepada Nyonya Abendon, 4 September 1901
“Pergilah, laksanakan cita-citamu.
Bekerjalah untuk hari depan. Bekerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang
yang tertindas. Dibawah hukum yang tidak adil dan paham-paham palsu tentang mana
yang baik dan mana yang jahat. Pergi! Pergilah! Berjuang dan menderitalah,
tetapi bekerja untuk kepentingan yang abadi”.
4. Surat
Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1901
“Kami disini memohon diusahakan pengajaran
dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan
anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami
yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih
cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam
tangannya : menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”.
5. Surat
Kartini kepada Nyonya Abendon, 10 Juni 1902
“Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan
murid-murid kami menjadi orang setengah Eropa atau orang Jawa yang
kebarat-baratan”.
6. Surat
Kartini kepada Nyonya van Kol, 21 Juli 1902
“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat
bekerja membuat agama lain memandang agama Islam patut disukai”.
7. Surat
kartini kepada Nyonya Abendanon, 12 Oktober 1902
“Dan saya menjawab, tidak ada Tuhan kecuali
Allah. Kami mengatakan bahwa kami beriman kepada Allah dan kami tetap beriman
kepada-Nya. Kami ingin mengabdi kepada Allah dan bukan kepada manusia. Jika
sebaliknya tentulah kami sudah memuja orang dan bukan Allah”.
8. Surat
Kartini kepada Nyonya Abendanon, 27 Oktober 1902
“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira
bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada
taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa
itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam
masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut sebagai
peradaban?”
9. Surat
Kartini kepada Nyonya Abendanon, 25 Agustus 1903
“Ya Allah, alangkah malangnya; saya akan
sampai disana pada waktu Puasa-Lebaran-Tahun n Baru, di saat-saat keramaian
yang biasa terjadi setiap tahun sedang memuncak. Sudah saya katakana, saya
tidak suka kaki saya dicium. Tidak pernah saya ijinkan orang berbuat demikian
pada saya. Yang saya kehendaki kasih saying dalam hati sanubari mereka, bukan
tata cara lahiriah!”
10. Surat Kartini kepada Nyonya
Abendanon, 12 Desember 1903
“Tidak,
ia tidak mempunyai ilmu, tidak mempunyai jimat, tidak juga senjata sakti.
Kalaupun rumahnya tidak ikut terbakar itu dikarenakan dia mempunyai Allah saja”
Lagu untuk mengebang Perjuangan Raden Adjeng Kartini
Disari dari berbagai sumber