MENEJEMEN PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS
1.
Implementasi
Pendidikan Inklusif masih menjadi issue controversial di antara stake holders
pendidikan kita dewasa ini. Sebagai Negara yang sedang bergerak kearah
pendidikan yang demokratis, hal itu sesungguhnya suatu hal yang wajar, dimana
timbul kelompok yang optimis bahwa pendidikan inklusif sangat tepat dan akan
berkembangan baik. Disini lain ada kelompok yang pesimis yang beranggap bahwa
pendidikan inklusif terlalu ideal dan karenanya sukar diwujudkan.
a. Bagaimana
pendapat saudara sendiri, dimana posisi saudara?
b. Secara
manajemen, tanggung pendidikan berkebutuhan khusus berada
pada mendiknas dan gubernur, yaitu berada pada Dikdasmen dan Dinas
pendidikan propinsi:
(1) Apa
keuntungan dan kerugian hal tersebut untuk perkembangan pendidikan berkebutuhan
khusus selanjutnya?
(2) apa
rekomendasi saudara untuk perbaikan terhadap struktur ini, agar pendidikan
inklusif/pendidikan pendidikan berkebutuhan khusus bisa lebih berkembang
2. Layanan
pendidikan bagi anak berkeutuhan khusus di Indonesia telah berkembang secara
alamiah dari masa ke masa sesuai dengan perubahan paradigm berfikir dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dialami manusia. Kita mengenal
perubahan- perubahan itu mulai dari system pendidikan segregasi, lalu ke
integrasi dan sekarang pendidikan inklusi
a. Jelaskan secara lengkap karakteristik
perkembangan dari masing- masing system tersebut (system pendidikan segregasi,
system pendidikan integrasi dan system pendidikan inklusif)
b. Jelaskan keuntungan- keuntungan dan
hambatan- hambatan dalam implementasi pendidikan inklusif di Indonesia ?
Serta kemukakan bagaimana cara terbaik menanggulangi hambatan- hambatan terseut
menurut saudara?
3.
Sekurang-kurangnya
ada sembilan prinsip dasar agar pendidikan inklusif dapat
dikembangkan di sekolah dengan baik. Coba sebutkan dan jelaskan
semua elemen tersebut menurut pemahaman saudara.
Langkah-langkah dasar yang akan saya
lakukan agar pendidikan inklusif dapat berjalan dengan baik adalah:
1.
adanya
ide tentang inovasi yang akan di gulirkan.
Inklusif, karena masih banyak anak
ABK yang belum dapat bersekolah karena SLB yang sangat jauh (satu
kecamatan satu SLB, sedangkan setiap desa pasti ada ABK)
2. Diagnosa
Mengapa terjadi demikian? Karena belum
banyak yang mengatahui tentang positifnya inklusif. Faktor apa saja
penyebabnya? Guru reguler merasa berat menangani ABK
3.
Perumusan
masalah
Mengapa sekolah terdekat tidak mau
menerima ABK? Karena sekolah takut dikarenakan tidak dapat mengakomodasi dengan
baik.
4. Tujuan pemecahan masalah
Terlaksananya pendidikan bagi ABK yang
dekat dengan tempat tinggal.
5. Menentukan sumber dan penghambat
Sumbernya berupa sekolah yang dekat mau
menerima ABK untuk bersekolah. Penghambatnya adalah pihak sekolah masih
kesulitan dalam menangani ABK jika bersekolah di sekolah tersebut, akhirnya
sekolah tetap mau menerima tetapi belum dapat memberikan layanan yang baik
terhadap ABK.
6. Menetukan
alternatif pemecahan masalah.
Dengan adannya pelatihan, workshop bagi
guru-guru reguler untuk menangani ABK di sekolah yang meliputi kurikulum yang
digunakan ABK, penyusunan asesmen, pembelajaran yang dapat mengakomodasi,
evaluasi, dan pelayanan khusus bagi anak, dan kerja sama dengan SLB untuk
memberikan layanan yang tepat bagi ABK.
7. memilih
alternative yang tepat.
Dari berbagai alternative tersebut dipilih
yang paling tepat yang akan digunakan dalam prinsip penyelengagaraan
inklusif yaitu adanya kerja sama dengan SLB untuk menentukan layanan yang tepat
bagi ABK yang bersekolah di sekolah reguler serta aktif membantu
memecahkan masalah yang berkaitan dengan implementasi pendidikan
inklusif, sebagai pusat informasi di bidang pendidikan inklusif dan
lain lain yang berhubungan dengan masalah inklusif di sekolah.
8. keputusan menerima atau menolak inovasi.
Setelah itu sekolah terdekat mau menerima
ABK dengan kerja sama dengan SLB untuk menentukan layanan yang
sesuai dengan kebutuhan anak. Dalam hal ini sekolah sepakat untuk menerima
inovasi yang dicanangkan pemerintah.
9. implementasi
dan monitoring
Setelah adanya kerja sama dengan guru SLB
untuk sharing tentang layanan yang sesuai dengan ABK maka Inklusif
tersebut diimplementasikan dengan mengikuti petunjuk-petunjuk yang ada
dan selalu di monitoring oleh dinas daerah dan pusat setempat.
10. evaluasi.
Setelah implementasi dan monitoring
berlangsung, maka diadakan evaluasi. Dari hasil evaluasi di gunakan
perbaikan untuk menyempurnakan program inklusif di sekolah. Program
inklusif tersebut di gulirkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat karena tidak
adanya SLB terdekat di daerah tersebut, jadi program tersebut diterapkan
di sekolah reguler agar dapat menerima ABK karena ABK juga
mempunyai hak yang sama untuk belajar seperti anak reguler pada umumnya.
4.
buatlah perencanaan strategik untuk pengembangan pendidikan
inklusif di indonesia .
(ingat langkah-langkah manajemen strategik) anda boleh memilih salah satu dari
level yang paling anda sukai, apakah ditingkat Kementrian
Pendidikan Nasional, di tingkat Disdik propinsi, atau di tingkat
institusi sekolah.
1.a
Saya setuju pendidikan inklusif ini di implementasikan di Indonesia karena
pendidikan inklusif merupakan paradigma baru dalam dunia pendidikan yang
memberikan kesempatan kepada ABK untuk bersekolah bersama-sama dengan anak pada
umumnya. Hal ini di nilai bahwa seyogyanga dalam dunia pendidikan keberagaman
antar individu tidak dipandang sebagai diskriminasi melainkan sebagai sebuah
kekomplekan mahluk ciptaan tuhan. Filosofi dasar inklusif dari Bhineka Tunggal
Ika meskipun di ciptakan beragam tetapi tidak ada diskriminasi.
Keuntungan dari inklusif sendiri adalah anak reguler belajar bersama-sama
dengan ABK agar anak reguler dapat mengerti dan memahami keberagaman individu.
Dengan demikian konsep pendidikan inklusi membawa hal yang positif dalam dunia
pendidikan karena memberikan kesempatan kepada semua anak untu belajar bersama-sama
di sekolah. Karena keuntungan dari sekolah inklusif adalah:
·
Membangun
kesadaran dan konsensus pentingnya Pendidikan Inklusif sekaligus
menghilangkan sikap dan nilai yang diskriminatif.
·
Melibatkan
dan memberdayakan masyarakat untuk melakukan analisis situasi pendidikan lokal,
mengumpulkan informasi.
·
Semua
anak pada setiap distrik dan mengidentifikasi alasan mengapa mereka tidak
sekolah.
·
Mengidentifikasi
hambatan berkaitan dengan kelainan fisik, sosial, dan masalah lainnya terhadap
akses dan pembelajaran.
·
Melibatkan
masyarakat dalam melakukan perencanaan dan monitoring mutu pendidikan bagi
semua anak.
Dengan memperhatikan
beberapa keuntungan inklusif tersebut maka banyak manfaat yang di peroleh jika
inklusif itu di terapkan meskipun dalam penerapannya memerlukan
penyesuaian-penyesuaian.
b.1.
Keuntungan tanggung jawab pendidikan inklusif di bawah tanggung
mendiknas adalah dalam memanajemen pendidikan inklusif bisa langsung terkontrol
oleh pusat sehingga apabila ada suatu permasalahan yang dihadapi oleh sekolah
mendiknas dapat langsung mengatasi permasalahan karena mendiknas berperan aktif
dalam menyelasaikan masalah. Sedangkan kerugiannya adalah proses yang
dijalani terlalu lama dan terbelit-belit. Apabila ada suatu permasalahan jika
meminta masukan dari mendiknas membutuhkan waktu yang lama hal ini di karenakan
jangkauan mendiknas yang terlalu jauh untuk menangani masalah yang urgen.
Menurut pengalaman saya, orang mendiknas lebih lama mengangani
permasalahan sekolah, mendiknas menilai itu tanggung jawab dinas setempat
sedangkan dinas setempat tidak mau bertanggung jawab karena itu tugas mendiknas
langsung. Dengan demikian adanya ketidakpastian dalam memanajemen
pendidikan kebutuhan khusus di suatu wilayah.
b.2 Rekomendasi
saya terhadap struktur ini adalah dengan adanya kejelasan apabila pendidikan
kebutuhan khusus di bawah naungan mendiknas atau dinas di suatu tempat. Karena
dengan demikian sudah jelas yang menanungi pendidikan kebutuhan khusus. Selain
itu ada kerjasama yang solid antara bebrapa pihak dalam implementasi pendidikan
khusus ini. Yang terahir ada job description bagi masing-masing instansi atau
individu agar tugas dan wewenang yang di berikan itu jelas dan dapat dijalankan
sebagaimana mestinya demi menunjang proses pendidikan kebutuhan khusus.
2.a Sekolah Integrasi: Secara etimologis istilah segregasi berasal dari
kata segregate (diartikan memisahkan, memencilkan) atau segregation (diartikan
pemisahan). Para ilmuwan kita mengartikan
segregasi sebagai proses pemisahan suatu golongan dari golongan lainnya; atau
pengasingan; atau juga pengucilan. Berkaitan dengan kePLBan, pendidikan
segregasi adalah suatu system pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus yang
terpisah dari system pendidikan anak normal. System pendidikan segregasi
merupakan system layanan pendidikan bagi ABK tertua di tanah air kita, bahkan
berdiri sebelum Indonesia
merdeka. Pemisahan yang terjadi bukan sekedar tempat/lokasi, tetapi mencakup
keseluruhan program penyelenggaraannya. Layanan pendidikan semacam ini disebut
layanan pendidikan bagi ABK melalui pemisahan program penyelenggaraan
pendidikan secara penuh dari program pendidikan anak-anak pada umumnya. Dengan
diagnosis seperti itulah dapat diketahui anak tunanetra bagi anak dengan
gangguan penglihatan , misalnya dan seterusnya. Dengan kata lain, adanya
diagnosis memunculkan anak khusus (ALB), sekolah/tempat khusus (PLB) atau Special
Education, layanan pendidikan khusus, sesuai dengan labelnya yang akhirnya
memunculkan katagori-katagori anak. Sifat sekolah yang khusus inilah yang kita
sebut pendidikan segregasi. Jadi dalam pendidikan segregasi kebutuhan (needs)
anak tidak dilihat secara individu. Pendidikan Segregasi lahir sejalan dengan
sikap dan pandangan masyarakat saat itu terhadap anak yang mengalami hambatan,
serta para pakar pendidikan yang berbasis kedokteran. Seiring disahkannya
Undang-undan Pendidikan Nasional (UUSPN) no. 2/1989, yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah no. 72 tahun 1991, maka bentuk pendidikan regregasipun
menyesuaikan diri; dimana, terdapat dua cara untuk mendirikan dan membina
sekolah-sekolah khusus yang disebut Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah Dasar
Luar Biasa (SDLB). Sekolah Luar Biasa (SLB) merupakan lembaga pendidikan yang
dipersiapkan untuk menangani dan memberikan pelayanan pendidikan secara khusus
bagi penyandang jenis kelainan tertentu. Dalam pelaksanaannya SLB terbagi atas
beberapa jenis sesuai dengan kelainan peserta didik, yaitu:
1.
SLB Bagian A, yaitu lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan
pendidikan secara khusus untuk peserta didik yag menyandang kelainan pada
penglihatan (Tunanetra).
2.
SLB Bagian B, yaitu lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan
pendidikan secara khusus untuk peserta didik yag menyandang kelainan pada
pendengaran (Tunarungu)
3.
SLB Bagian C, yaitu lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan
pendidikan secara khusus untuk peserta didik tunagrahita ringan dan SLB Bagian
C1, yaitu lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan pendidikan secara khusus
untuk peserta didik tunagrahita sedang.
4.
SLB Bagian D, yaitu lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan
pendidikan secara khusus untuk peserta didik tunadaksa tanpa adanya gangguan
kecerdasan dan SLB D1, yaitu lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan
pendidikan secara khusus untuk peserta didik tunadaksa yang disertai dengan
gangguan kecerdasan.
5.
SLB Bagian E, yaitu lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan
pendidikan secara khusus untuk peserta didik tunalaras.
6.
SLB Bagian G, yaitu lembaga pendidikan yang memberikan pelayanan
pendidikan secara khusus untuk peserta didik tunaganda.
Adapun Sekolah Dasar Luar
Biasa (SDLB) adalah sekolah pada tingkat dasar yang menampung beberapa jenis
kelainan, yaitu : tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, bahkan juga
tunaganda yang ditampung dalam satu atap. Dalam pelaksanaannya biasanya ruangan
disekat-sekat sebagai pemisah sesuai dengan jenis kelainannya. Pendirian SDLB
dimaksudkan untuk menuntaskan gerakan wajib belajar pada tingkatan sekolah
dasar. Oleh karenanya SDLB dibangun di tempat-tempat yang tidak terdapat SLB
dan jumlah ABK dari masing-masing jenis kelainan relative sedikit jumlahnya,
yang dirasa belum perlu membangun kelas atau SLB sesuai dengan jenis kelainan
masing-masing. SLB melayani pendidikan dengan satu kelainan, sedangkan SDLB
melayani berbagai kelainan pada tingkat sekolah dasar.Baik penyelenggaraan SLB
maupun penyelenggaraan SDLB di Indonesia berlandaskan pada UUD 1945,
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Pemerintah tentang PLB.
Disamping itu juga berdasarkan pada landasan pedagogis, psikologis, maupun
sosiologis. Landasan pedagogis, yaitu dengan memberikan layanan pendidikan yang
sitematis dan terarah, di mana anak-anak berkelainan diharapkan dapat menjadi
warga Negara atau anggota masyarakat yang terampil dan mandiri, serta
bertanggung jawab terhadap kehidupan dan penghidupan, serta tidak terlalu
menggantungkan diri terhadap orang lain. Adapun yang menjadi landasan
psikologis, adalah dengan pendidikan yang baik kepada mereka dapat dikembangkan
rasa percaya diri dan harga dirinya. Dengan latihan serta pendidikan yang baik
dapat mengatasi kelainannya, sehingga „kecacatan‟nya tidak dirasakan sebagai beban baik bagi dirinya sendiri maupun
bagi orang lain. Sedangkan landasan sosiologisnya adalah meskipun mere
mengalami kelainan, namum mereka akan mampu bersosialisasi dengan lingkungan
sekitarnya, bahkan dapat ikut serta secara aktif dalam bermasyarakat, dengan
demikian mereka memiliki status sebagai bagian dari anggota masyarakat dan
warga Negara. Landasan penyelenggaraan SLB dan SDLB yaitu: UUD 1945, UU
Sisdiknas, PP tentang PLB, serta landasan pedagogis, psikologis dan sosiologis.
Sekolah integrasi Sub
Direktorat PSLB (1992:3) memaknai pendidikan integrasi sebagai pendidikan yang
menempatkan anak-anak berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan anak
normal dalam satu kelas. Barbara Clark dalam Mulyono Abdurahman (1996:100)
memaknai pendidikan integrasi sebagai pendidikan yang berupaya mengoptimalkan
fungsi kognitif, afektif, fisik dan intuitif secara terintegrasi. S.A.
Bratanata (1974) mengemukakan bahwa pendidikan integrasi adalah pendidikan bagi
anak-anak berkelainan yang diterima bersama-sam dengan anak normal dan
diselenggarakan di sekolah biasa. Unicef information mengemukakan bahwa “An
innovative programme in Indonesia called “Sekolah Integrasi” or integrated
school, is managing on small but growing scale to introduce blind children in
to ordinary primary schools and give them change of normal education” (Darodjat
Natanegara, 1980). Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa di Indonesia
terdapat inovasi program pendidikan yang dikenal dengan “sekolah integrasi”
atau sekolah integrasi yang sedang dirintis pada sebuah daerah kecil tetapi
berkembang dengan baik. Tujuan program ini adalah untuk memasukkan anak-anak
tunanetra ke sekolah-sekolah dasar biasa dan memberikan kesempatan kepada
mereka untuk mengikuti pendidikan biasa atau pendidikan untuk anak-anak normal.
Sedangkan Dwidjosumarto (1996:68) mengungkapkan bahwa system pendidikan
integrasi adalah system pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak luar
biasa belajar bersama-sama dengan anak biasa (normal) di sekolah umum. Dari
beberapa pemaknaan tentang pendidikan integrasi di atas dapat disimpulkan bahwa
pada dasarnya pendidikan integrasi adalah memberi kesempatan pada anak-anak
berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak-anak pada umumnya di
sekolah umum yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Hanya ada persyaratan
yang harus dipenuhi oleh anak berkebutuhan khusus, dalam pendidikan integrasi
anak-anak penyandang cacat yang mengikuti kelas khusus atau sekolah khusus
dipindah ke sekolah reguler ketika mereka dianggap siap untuk mengikuti suatu
kelas di sekolah reguler. Mereka dididik dalam seting terpisah agar di kemudian
hari dapat mengikuti pembelajaran di kelas reguler. Penempatan mereka sering
berdasarkan keberfungsiannya atau pengetahuannya tidak berdasarkan usianya,
sehingga ada kemungkinan anak berumur sembilan tahun duduk di kelas satu
sekolah reguler.
Sekolah inklusif
merupakan sebuah konsep atau pendekatan pendidikan yang berusaha menjangkau
semua orang tanpa kecuali (Supriadi, 2003). Semua anak memiliki hak dan
kesempatan yang sama untuk memperoleh manfaat yang maksimal dari pendidikan.
Hak dan kesempatan tersebut tidak dibedakan oleh keragaman karakteristik
individu secara fisik, mental, social, emosional dan bahkan status social ekonominya.
Pendidikan ini sejalan dengan filosofi pendidikan nasional Indonesia yang
tidak membatasi akses peserta didik ke pendidikan hanya perbedaan kondisi awal
dan latar belakangnya. Inklusipun tidak hanya bagi anak-anak berkebutuhan
khusus, melainkan berlaku untuk semua anak. Gagasan pendidikan inklusif sejalan
dengan kecenderungan global sejak satu dasawarsa terakhir, dimana-mana orang
berbicara tentang perlunya dikembangkan perspektif pendidikan yang lebih
inklusif, pendidikan yang tidak diskriminatif, pendidikan yang ramah untuk
semua anak. Ini sejalan dengan isu-isu hak asasi manusia (human right), hak-hak
anak (childrent’ right), gerakan pro-kemanusiaan. Pendidikan yang memihak semua
anak tersebut dinyatakan oleh UNESCO dalam deklarasi tentang pendidikan untuk
semua (education for all). Penerapan konsep inklusi melalui pintu masuk
pendidikan luar biasa, juga memiliki arti khusus, karena pada akhir-akhir ini
telah terjadi perubahan pendidikan luar biasa dari pendekatan yang sifatnya
segregartif menuju inklusif. Ini terepresentasikan pada terjadinya perubahan
dari special education ke special needs education yang memiliki implikasi yang
luas terhadap praktek pendidikan. Untuk itu, pendidikan inklusif merupakan
strategi utama dalam menangani anak -anak secara integrasi, Sapon-Shevin
(O’Neil, 1994/1995), mendefinisikan inclusion sebagai system layanan pendidikan
luar biasa yang mempersyaratkan agar semua anak luar biasa bersama teman-teman
seusianya. Untuk itu, Sapon Shevin menekankan adanya resrukturisasi di sekolah
sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap
anak, artinya kaya dalam sumber dan dukungan dari semua guru dan murid.
Stainback dan Stainback (1990), “Sekolah yang inklusif adalah sekolah yang
menampung semua anak di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program
pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan
setiap anak maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru
agar anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah yang inklusif juga merupakan tempat
setiap anak diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, maupun anggota
masyarakat lain agar kebutuan individualnya terpenuhi”. Hal ini sejalan dengan
pendapat Powel & Caseau (2004) yang menyatakan bahwa hal terpenting dari
pendidikan inklusif adalah menolong anak dalam hal-hal akademik dan social.
Prinsip dasar pendidikan inklusif adalah bahwa semua anak harus memperoleh
kesempatan untuk besama-sama belajar dalam satu komunitas. Hal ini berarti
bahwa sekolah umum harus dilengkapi untuk melihat dan menanggapi
kebutuhan-kebutuhan pelajar yang beraneka ragam, termasuk mereka yang secara
tradisional telah tersingkirkan, baik dari skses sekolah maupun peran serta
setara di sekolah. Pendidikan inklusif berarti bahwa sekolah dan guru harus
mengakomodasi perbedaan individual di tengah-tengah layanan klasikal. Untuk itu
inklusifitas ini menguntungkan bagi sekolah, guru-guru, dan seluruh peserta
didik. Karena dalam hal yang demikian terjadi saling memberi keuntungan dan
kekuatan-kekuatan dibalik kekurangan-kekurangannya. Prinsip ini mengakui bahwa
sekolah adalah komunitas pembelajar, pendidikan sebagai tujuan seumur hidup,
dan sasaran akhir tercapainya warga Negara yang sehat dan produktif yang secara
penuh ikut memberikan sumbangan pada kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya
bangsa, masyarakat, dan keluarga. Ada
beberapa cara khusus yang dapat menolong untuk mengintegrasikan dan memelihara
anak-anak berkelainan (berkebutuhan khusus) di dalam sekolah umum. Hal ini
termasuk pula 1) strategi pelatihan pra-layanan dan layanan di lapangan bagi
para pendidik dan administrator; 2) pusat sumber daya tersentralisasi,
kerjasama dan program penjangkauan; 3) memobilitasi dan melatih orang tua
sebagai sumber daya; 4) kolaborasi multi-sektor dan meningkatkan kapasitas
program rehabilitasi berbasis masyarakat. Tindakan-tindakan tersebut di atas
membutuhkan jaminan mutu tersentralisasi dan jaminan hak asasi manusia, dan
pendanaan terdesentralisasi untuk mengadakan inisiatif dan praktek inovatif
yang memenuhi kebutuhan spesifik pada tingkat lokal. Folam berbasis sumber daya
manusia harus dipakai untuk mengalokasikan dana pada tingkat lokal berdasarkan
kebutuhan program dengan mengkhususkan pada tingkat dukungan (seperti ukuran
kelas, guru pendukung), dan parameter-parameter lainnya dikaitkan dengan
parameter-parameter pendidikan bermutu. Alokasi yang mendorong sistem yang
seragam dalam penyampaian layanan pendidikan, dan yang menentukan dengan
standar-standar kinerja adalah terbukti paling efektif.
2.b keuntungan
beberapa pihak dalam implementasi pendidikan inklusif
Manfaat Pendidikan Inklusif untuk peserta
didik antara lain:
·
Menanamkan
dan mengembangkan kepercayaan dir
·
Bangga
pada diri sendiri atas prestasi yang diperolehnya
·
Belajar
secara mandiri
·
Mencoba
memahami dan mengaplikasikan pelajaran di sekolah dalam kehidupan sehari- hari
·
Berinteraksi
secara aktif bersama teman dan guru
·
Belajar
menerima perbedaan dan beradaptasi terhadap perbedaan itu
·
Anak
lebih kreatif dalam pembelajaran
Manfaat Untuk Guru antara
lain:
·
Mendapat
kesempatan belajar cara mengajar yang baru dalam melakukan pembelajaran bagi
peserta didik yang memiliki latar belakang dan kondisi yang beragam;
·
Mampu
mengatasi tantangan;
·
Mampu
mengembangkan sikap yang positif terhadap anggota masyarakat, anak dan situasi
yang beragam;
·
Memiliki
peluang untuk menggali gagasan-gagasan baru melalui komunikasi dengan orang
lain di dalam dan di luar sekolah;
·
Mampu
mengaplikasikan gagasan baru dan mendorong peserta didik lebih proaktif, kreatif
dan kritis;
·
Memiliki
keterbukaan terhadap masukan dari orang tua dan anak untuk memperoleh hasil
yang positif;
·
Mendapat
peluang yang lebih besar dari masyarakat dalam hal bantuan dan dukungan
berdasarkan hasil kerja mereka;
·
Memperoleh
kepuasan kerja dan pencapaian prestasi yang lebih tinggi ketika semua peserta
didik berhasil. Perlu digarisbawahi bahwa keberhasilan semua peserta didik lulus ujian tertulis.
·
Di
sekolah yang inklusif, ramah terhadap pembelajaran, terbuka kesempatan bagi
relawan untuk membantu pelaksanaan pembelajaran melalui kerjasama dengan guru.
Manfaat
Untuk Orang TuaManfaat bagi orang tua dengan mengunakan “Pendidikan Inklusif” antara Lain:
·
Orangtua
dapat belajar lebih banyak tentang bagaimana anaknya dididik.
·
Mereka
secara pribadi terlibat dan merasa lebih penting untuk membantu anak belajar.
Ketika guru bertanya pendapat mereka tentang anak,
·
orangtua
merasa dihargai dan menganggap dirinya sebagai mitra setara dalam memberikan
kesempatan belajar yang berkualitas untuk anak.
·
Orangtua
juga dapat belajar bagaimana cara membimbing anaknya lebih baik di rumah dengan
menggunakan teknik yang digunakan guru di sekolah.
·
Mereka
juga belajar berinteraksi dengan orang lain, serta memahami dan membantu
memecahkan masalah yang terjadi di masyarakat.
·
Terpenting
mereka mengetahui bahwa anaknya – dan semua anak- menerima pendidikan yang
berkualitas.
Manfaat Untuk Masyarakat
“Pendidikan Inklusif” juga
memberikan manfaat bagi masyarakat
o
Masyarakat
lebih merasa bangga ketika lebih banyak anak bersekolah dan mengikuti
pembelajaran.
o
Mereka
menemukan lebih banyak “calon pemimpin masa depan” yang disiapkan untuk
berpartisipasi aktif di masyarakat.
o
Masyarakat
melihat bahwa potensi masalah sosial seperti kenakalan dan masalah remaja bisa
dikurangi.
o
Anggota
masyarakat menjadi lebih terlibat di sekolah dalam rangka menciptakan hubungan
lebih baik antara sekolah dan masyarakat.
Hal yang perlu diperbaiki
dalam Pendidikan Inklusif
a.
Banyak
sekolah yang masih kesulitan dalam menangani macam-macam ABK
b. Menyusun kurikulum yang sangat heterogen
c.
Kesulitan
mengakomodasi semua anak
d. Kerja sama dengan pihak-pihak lain untuk
menangani ABK (dokter, psikolog, orang tua)
e.
Pembelajaran
yang di pusatkan terhadap kebutuhan anak (banyak guru yang masih kesulitan)
f.
Banyak
guru yang masih kesulitan dalam asesmen, intervensi, penyusunan program,
sehingga masih butuh waktu untuk belajar bagi guru-guru reguler
g. penerimaan siswa baru (tidak ada
persyaratan untuk masuk di sekolah inklusif)
h. kreatifitas guru dalam mengasesmen siswa
untuk mengetahui hambatan yang dialami anak.
i.
Kreatifitas
guru dalam mengajar ABK khususnya bagi guru Reguler
j.
Tahap
penilaian untuk ABK
k.
Sumber
dana dari pemerintah masih dianggap minim.
Cara mengatasi hambatan-hambatan tersebut
adalah dengan memberikan workshop kepada guru-guru reguler dan ABK tentang
bagaimana penanganan bagi ABK (asesmen, penyusunan program, penyampaian materi,
dan evaluasi). Selain itu untuk mengatasi masalah minimnya dana dapat di
siasati dengan mencari bantuan ke dinas-dinas yang lain atau dinas
pendidikan pusat.
1.
2.
Saya
mengembangkan perencanaan strategik untuk mengembangkan pendidikan inklusif
di institusi sekolah. Langkah strategik yang saya kembangkan adalah:
·
Visi,
Misi, dan Tujuan Organisasi jangka panjang, menengah, dan pendek.
·
Garis-garis
besar haluan organisasi sbg pedoman kerja dalam mewujudkan tujuan.
·
Profil
organisasi (gambaran konkrit kemampuan organisasi; kondisi riil sumber
daya organisasi: Kekuatan, kelemahan, peluang, tantangan, dan
kemampuan menanggulanginya.
·
Berbagai
alternatif tindakan yang akan dilakukan,
·
Alternatif
tindakan yang paling strategis sehingga peluang keberhasilannya
sangat tinggi.
·
Tenaga
kerja yg memenuhi berbagai persyaratan
·
Alat,
media, dan sarana yang tepat
·
Struktur
organisasi yang tepat untuk efektivitas dan efisiensi kerja.
·
Sistem
pengawasan yang akuntable dan transfaran.
·
Sistem
penilaian yang tepat untuk menentukan keberhasilan dan kegagalan strategi yang
ditempuhnya.
·
Sistem
umpan balik untuk dijadikan bahan penetapan kebijakan selanjutnya. Implikasi
dari rencana strategik tersebut saya kembangkan sebagai berikut:
RANCANGAN
PENGEMBANGAN SEKOLAH INKLUSIF
Setelah mengetahui kebutuhan spesifik yang
dibutuhkan oleh masyarakat, maka dilanjutkan dengan tahapan mendiagnosis
masalah-masalah yang akan terjadi di dalam perencanaannya pengembangan sekolah
inklusif, yaitu :
·
Penolakan
dari intern (khususnya tenaga pengajar serta anggota yayasan), orang tua serta
peserta didik terhadap pelaksanaan pendidikan inklusif dan anak berkebutuhan
khusus di lingkungan sekolah.
·
Penolakan
dari warga masyarakat sekitar baik yang ingin menyekolahkan anaknya maupun
tidak tentang pelaksanaan pendidikan inklusif.
·
Kemampuan
para guru yang belum memadai dalam menangani anak berkebutuhan khusus di dalam
kelas.
·
Belum
terdapatnya guru pendidikan luar biasa/pendidikan kebutuhan khusus di sekolah tersebut,
sehingga guru kurang mendapatkan informasi mengenai anak berkebutuhan khusus.
·
Sumber
pendanaan yang terbatas, karena saat ini satu-satunya sumber berasal dari
Sumbangan Pengembangan Pendidikan (SPP) dari peserta didik.
·
Aksesibilitas
lingkungan fisik yang kurang menunjang, seperti bangunan yang
bertingkat-tingakat (3 lantai), keberadaan tangga-tangga yang digunakan sebagai
jalan utama serta lantai yang berundak-undak.
·
Belum
terdapatnya pengadaan alat bantu khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus
untuk memungkinkan mereka mengakses kegiatan belajar bersama-sama.
·
Prosedur
penanganan anak berkebutuhan khusus yang belum jelas.
·
Waktu
yang terbatas untuk pengembangan sekolah menjadi sekolah inklusi (sekitar 6
bulan).
·
Belum
terciptanya suatu program yang melibatkan peran serta aktif masyarakat
lingkungan sekitar, sehingga anak berkebutuhan khusus dapat terjun langsung ke
masyarakat dan hidup mandiri.
·
Kebijakan
sekolah yang dibuat secara berlapis-lapis (diputuskan oleh kepala sekolah dan
ketua yayasan), mengakibatkan suatu kebijakan yang diambil harus menempuh waktu
yang cukup lama sebelum dapat dilaksanakan.
Rancangan
Pengembangan 6 bulan.
Untuk penentuan komponen-komponen yang
terdapat didalam rancangan pengembangan sekolah menjadi sekolah inklusi ini,
kami merunut konsep pertolongan dalam pekerjaan sosial yang terdapat di dalam
buku Profesi Pekerjaan Sosial dan
Proses Pertolongannya yang
diadaptasikan kedalam proses pendidikan. Komponen-komponen tersebut meliputi :
a.
Peserta
Didik
Seluruh peserta didik mempunyai hak untuk
dibantu dan mendapatkan pelayanan. Mereka dibantu dengan berbagai cara,
sehingga tujuan pendidikan dapat tercapai. Peserta didik perlu mendapatkan
pelayanan sebagai manusia yang kompleks sehingga ia akan mendapatkan bantuan
yang memadai, perasaan, keluhan dan permasalahannya didengar serta
diperhatikan.
Rancangan pengembangan sekolah menjadi
sekolah inklusi ini diharapkan sekolah dapat memberikan layanan terhadap
semua anak tanpa melihat perbedaan yang ada (kondisi fisik, jenis kalamin,
bahasa dan lain-lain) semua anak baik yang mempunyai hambatan dalam
perkembangannya maupun tidak dapat bersekolah bersama-sama dan pelayanannya
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan anak. Salah satu program
yang dirancang untuk mengakomodasi seluruh peserta didik di sekolah dalam
segi masalah materi adalah “one student one friend” (orang tua asuh). Program
ini dilaksanakan dengan melibatkan orang tua peserta didik yang mampu untuk
dapat membantu teman-temannya yang kurang beruntung.
Sedangkan penolakan dari peserta didik
bersekolah terhadap hadirnya teman yang berkebutuhan khusus di lingkungan
sekolah dapat berupa tindakan membuat labeling terhadap temannya yang berkebutuhan
khusus (contoh : anak bodoh, anak nakal, orang gila dan lain-lain), menjauhi
teman yang berkebutuhan khusus bahkan terkadang sampai memperolok-olok temannya
yang berkebutuhan khusus tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut maka diperlukan
peran serta aktif baik dari guru maupun orang tua. Hal-hal yang dapat dilakukan
yaitu :
·
Mensosialisasikan
keberadaan, kesamaan dan hak-hak teman-temannya yang memiliki kebutuhan khusus,
sehingga diharapkan tidak terjadi labeling terhadap temannya yang memiliki kebutuhan
khusus. Bentuk sosialisasinya dapat berupa penempelan poster-poster dan artikel
singkat di mading sekolah dan menyisipkan materi untuk menghargai dan mencintai
teman-temannya yang memiliki kebutuhan khusus di setiap materi pelajaran.
·
Membuat
keadaan sehingga peserta didik merasa yakin bahwa tidak terdapat perbedaan
perlakuan terhadap teman-temannya yang berkebutuhan khusus, sehingga anak-anak
dapat mempelajari hal itu dan mengaplikasikannya secara terus menerus.
·
Membuat
sebuah forum di jejaring sosial mengenai gerakan untuk membantu dan menghargai
teman-temannya yang berkebutuhan khusus yang dikelola oleh guru, sehingga
anak-anak mendapatkan informasi positif yang sangat jelas.
·
Membuat
suatu kegiatan yang diselenggarakan oleh seluruh peserta didik (termasuk
didalamnya anak berkebutuhan khusus) untuk memperingati hari penyandang cacat
sedunia sehingga mereka dapat belajar secara nyata untuk bekerjasama dengan
orang lain tanpa melihat perbedaan kondisi setiap orang.
·
Membuat
display hasil karya bagi seluruh peserta didik terutama peserta didik yang
memiliki kebutuhan khusus yang dapat diakses oleh seluruh peserta didik,
sehingga mereka semakin menghargai teman-temannya yang berkebutuhan khusus.
Selain mengatasi penolakan dari peserta
didik, juga perlu diketahui akan adanya penolakan dari orang tua peserta didik
terhadap hadirnya keberadaan anak berkebutuhan khusus di lingkungan sekolah
putra-putri mereka dikarenakan timbulnya rasa tidak aman, tidak nyaman dan
ketakutan yang berlebihan terhadap putra/putri mereka. Orang tua sangat
membutuhkan informasi yang jelas mengenai inovasi/perubahan yang terjadi di
lingkungan sekolah putra-putri mereka. Beberapa hal yang dapat dilakukan, yaitu
:
·
Membuat
pertemuan orang tua peserta didik dalam bentuk seminar dengan mendatangkan
orang tua yang mempunyai anak berkebutuhan khusus atau ahli-ahli yang
berkompeten di bidangnya.
·
Mensosialisasikan
pelaksanaan pendidikan inklusif kepada kalangan orang tua berupa pemasangan
spanduk, poster-poster, info singkat serta artikel di sekitar lingkungan
sekolah, majalah assalaam, jejaring sosial, di sekolah serta madding sekolah.
·
Membuat
diskusi-diskusi online di website maupun jejaring sosial tentang pendidikan
inklusif serta anak berkebutuhan khusus.
·
Mengikutsertakan
beberapa orang tua peserta didik sebagai tim pengawas pelaksanaan pendidikan
inklusif.
b. Guru Pendidikan Luar Biasa.
Guru pendidikan luar biasa mempunyai
beberapa posisi dan peranan selama proses pendidikan. Guru pendidikan luar
biasa juga mempunyai kewenangan dan tanggung jawab. Guru pendidikan luar biasa
dapat bertindak sebagai pemberi layanan langsung, pemberi nasehat, pengawas,
pembela dan lain sebagainya. Hal itu menunjukkan bahwa guru pendidikan luar biasa
banyak melakukan peranan. Guru pendidikan luar biasa perlu memiliki kepercayaan
diri, identitas dan pribadi yang professional guna diterapkan dalam pendidikan
inklusif.
Untuk rancangan pengembangan sekolah
menjadi sekolah inklusi ini maka memerlukan beberapa tenaga guru pendidikan
luar biasa. Beberapa deskripsi tugas dari guru pendidikan luar biasa ini yaitu
:
·
Membantu
guru kelas dan guru mata pelajaran dalam membuat program pembelajaran yang
mengakomodasi kebutuhan anak.
·
Membuat
dan melaksanakan materi pengembangan sikap dan potensi diri yang dilakukan oleh
guru pendidikan luar biasa. Materi ini dilakukan selama 1 kali seminggu dengan
alokasi waktu 2 jam pelajaran.
·
Membantu
guru kelas dan guru mata pelajaran dalam membuat asessmen.
·
Membantu
guru kelas dan guru mata pelajaran dalam mengkondisikan anak berkebutuhan
khusus di dalam kelas (terutama untuk anak yang mengalami ADHD dan
ketidakstabilan emosi).
·
Membuat
program pembelajaran untuk masing-masing anak berkebutuhan khusus agar perilakunya
menjadi lebih adaptif.
·
Membuat
program layanan kesulitan belajar.
·
Membantu
PKS Sarana dan Prasarana dalam penyediaan alat bantu untuk anak berkebutuhan
khusus dan peningkatan aksesibilitas lingkungan fisik.
c.
Guru
kelas dan guru mata pelajaran.
Guru kelas dan guru mata pelajaran harus
menciptakan manajemen kelas yang kondusif, suasana belajar dan strategi
pembelajaran yang menarik dan mengerti kebutuhan masing-masing anak. Beberapa
hal yang harus dilakukan oleh guru kelas dan guru mata pelajaran diantaranya
adalah :
o
Disiplin
dalam pengelolaan waktu kelas, setiap kelas mempunyai time table yang di
dalamnya tercantum waktu untuk menyerut pensil, ke kamar mandi, waktu istirahat
dan waktu pulang.
o
Membuat
media yang dapat membuat peserta didik merasa dihargai terhadap sesuatu apapun
yang mereka lakukan setiap harinya.
o
Membuat
media pembelajaran yang menarik dan inovatif, seperti menggunakan komputer dan
teknologi dalam pembelajaran.
o
Melakukan
pembelajaran yang kooperatif, sehingga peserta didik didorong bekerja sama
dalam melakukan tugas yang menciptakan sikap toleransi, saling tolong menolong,
menghargai dan tanggung jawab.
Faktor penolakan dari kalangan intern
(guru) yang paling mendominasi dikarenakan adanya ketakutan karena tidak
terdapatnya fasilitas sekolah serta kompetensi guru yang kurang memadai untuk
melaksanakan pendidikan inklusif. Selain itu juga, timbulnya rasa tidak percaya
diri untuk melaksanakan perubahan-perubahan yang akan terjadi. Sehingga, untuk
mengatasi hal tersebut sekolah sangat perlu untuk menumbuhkan kepercayaan diri
di kalangan guru untuk melaksanakan pendidikan inklusif. Beberapa langkah yang
dapat ditempuh diantaranya adalah ;
·
Membuat
seminar/in house training/workshop mengenai pelaksanaan pendidikan inklusif dan
penanganan anak berkebutuhan khusus dengan mendatangkan ahli-ahli yang
berkompeten di bidangnya.
·
Melakukan
studi banding terhadap sekolah yang melaksanakan dan berhasil melakukan
pendidikan inklusif.
·
Meningkatkan
kemampuan guru untuk mendukung terlaksananya pendidikan inklusif, hal ini
dilakukan dengan melakukan pelatihan yang berisikan modul materi dan praktek
tentang pengantar pendidikan inklusif, psikologi perkembangan anak, asessmen
dan hambatan perkembangan anak (Pelatihan ini dapat dilakukan setiap hari Jum’at
– Sabtu 11.00 – 14.00 WIB). Hasil dari pelatihan ini diharapkan secara langsung
dapat diterapkan di kelas yang memiliki anak berkebutuhan khusus.
d. Sekolah
Secara fisik, sekolah merupakan tempat
atau pusat dimana pendidikan dilaksanakan. Sekolah merupakan suatu unit
pendidikan yang telah diberi ijin oleh pemerintah. Sekolah dapat didirikan oleh
pemerintah maupun masyarakat sendiri.
Struktur organisasi rancangan pengembangan
sekolah menjadi sekolah inklusi dapat dilihat di bawah ini:
KETUA
YAYASAN
KONSULTAN
PENDIDIKAN
KEPALA
SEKOLAH
WAKIL
KEPSEK
PKS
KEAGAMAAN
PKS
KURIKULUM
PKS
KESISWAAN
PKS
SARPRAS
PKS
BIMB.
KONSELINGA
PKS
HUMAS
GURU
PENDIK.
LUAR
BIASA
GURU
MATA
PELAJARAN
GURU
KELAS
= Garis Koordinasi
= Garis Pengawasan
Gambar
3. Struktur Organisasi Rancangan Pengembangan SD. Assalaam
Kepala sekolah diharapkan mampu
mengkoordinasikan pelaksanaan pendidikan inklusif kepada seluruh anggota
sekolah, sehingga diharapkan pelaksanaan pendidikan inklusif dapat berjalan
dengan sebaik-baiknya.
Untuk rancangan pengembangan sekolah
menjadi sekolah inklusi dalam kurun waktu 1 tahun pertama ini akan dibentuk
beberapa kelas di setiap levelnya, dengan pembagian yang akan dijelaskan dengan
menggunakan tabel di bawah ini:
Kls
|
Jumlah Murid
|
Proyeksi Jumlah ABK
|
Keterangan
|
|
1
|
1A
|
25
|
2
|
Low Vision + Ketidakstabilan Emosi
|
2
|
1B
|
30
|
1
|
ADHD
|
3
|
1C
|
30
|
1
|
Ketidakstabilan Emosi
|
4
|
1D
|
30
|
1
|
Slow Learner
|
5
|
1E
|
30
|
1
|
Slow Learner
|
6
|
1F
|
30
|
1
|
Tunarungu
|
7
|
2B
|
33
|
1
|
ADHD
|
8
|
2C
|
35
|
1
|
Slow Learner
|
9
|
6D
|
32
|
1
|
Slow Learner
|
Tabel
7. Perencanaan Kelas
e.
Prosedur
Penganan Peserta Didik
Suatu prosedur penanganan peserta didik
yang jelas perlu dibuat, sehingga nantinya diharapkan tidak terjadinya tumpang
tindih pelaksanaan pekerjaan yang dapat menyebabkan anak tidak tertangani.
Prosedur penanganan peserta didik yang diadaptasi berdasarkan proses
pertolongan pekerjaan sosial Max Siporin yang terdapat didalam buku Profesi
Pekerjaan Sosial dan Proses Pertolongannya. Sistem penanganan peserta didik
dapat dilihat di bawah ini :
Calon
Peserta
Didik
Intake :
Pendaftaran
(dilakukan
oleh staf penerimaan murid baru dan administrasi)
Assessment :
Mengumpulkan
informasi-informasi tetang peserta didik sehingga hasilnya dapat digunakan
untuk menyeleksi anak dan mengatahui hambatan yang dialami oleh anak
(dilakukan
oleh guru pendidikan luar biasa)
Anak
Berkebutuhan Khusus
Anak
yang tidak memiliki kebutuhan khusus
ABK
(yang
belum memiliki diagnose dari psikolog/dokter anak)
ABK
(yang
memiliki diagnose dari psikolog/dokter anak)
KELAS
(dilakukan
oleh wali kelas, GMP dibantu oleh guru pendidikan luar biasa)
·
Mengeksplorasi
permasalahan-permasalahan yang terjadi.
·
Mengeksplorasi
alternatif-alternatif solusi masalah.
·
Memformulasikan
strategi pembelajaran.
Anamesa
DESKRIPSI
KEBUTUHAN ANAK DAN SARAN PENANGGULANGAN
Planning
:
·
Memformulasikan
proses dan sistem pembelajaran sesuai dengan kebutuhan anak.
·
Membuat
kontrak kerjasama antara orang tua peserta didik dan pihak sekolah.
(Dilakukan oleh guru pendidikan luar biasa
dan orang tua peserta didik)
Evaluation
& Termination :
(Evaluasi
hasil belajar – Penanganan anak berkebutuhan khusus)
Dilakukan
oleh guru kelas, guru mata pelajaran dan guru luar biasa
Gambar
4. Prosedur Penanganan Peserta Didik
Rancangan Lanjutan Pengembangan 2 tahun.
Rancangan pengembangan 2 tahun ini
merupakan kelanjutan dari program rancangan pengembangan 6 bulan. Jika pada
kurun waktu 6 bulann hanya terdapat 9 kelas inklusi, maka dalam rancangan
pengembangan 2 tahun ini diharapkan seluruh kelas di sekolah menjadi
kelas inklusi. Beberapa langkah rancangan lanjutan pengembangan 2 tahun
diantaranya adalah :
·
Melanjutkan
program sosialisasi pendidikan inklusif kepada guru, orang tua dan masyarakat
sekitar lingkungan sekolah melalui berbagai media yang dapat dijadikan sebagai
sarana komunikasi.
·
Mensosialisasikan
secara terus menerus tentang keberadaan anak berkebutuhan khusus kepada seluruh
peserta didik, baik di dalam ataupun di luar kegiatan belajar mengajar.
·
Mensosialisasikan
keberadaan dan keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusif melalui berbagai
media (cetak dan elektronik) dan sarana (forum komunikasi guru), sehingga
diharapkan dapat memberikan inspirasi untuk melaksanakan pendidikan inklusif
disetiap sekolah yang berada di kelurahan Balonggede khususnya dan Indonesia
pada umumnya.
·
Mengumpulkan
dana untuk menunjang terlancarnya pendidikan inklusif, dana ini diharapkan
berguna untuk membangun fasilitas-fasilitas yang menunjang pelaksanaan
pendidikan inklusif, yang bersumber dari industri yang berada di dalam ataupun
di luar lingkungan sekolah.
·
Membuat
kerjasama dengan dokter dan psikolog anak untuk membantu secara intensif
pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah, nantinya diharapkan dokter dan
psikolog anak dapat memberikan saran dan masukan didalam proses pembelajaran.
·
Menjalin
hubungan yang harmonis dengan pihak eksternal, seperti instansi perusahaan yang
terdapat di lingkungan sekitar ataupun tidak di sekitar sekolah serta masyarakat
dan fasilitas yang terdapat di lingkungan sekitar untuk turut serta membantu
proses pembelajaran. Sebagai contoh, ketika anak mempelajari tentang jual-beli
maka anak-anak dapat menggunakan fasilitas yang terdapat di lingkungan sekitar
(pasar/supermarket).
·
Merancang
suatu fasilitas sekolah yang mendukung seluruh kebutuhan anak, seperti
penyediaan taman hijau, pembongkaran lantai yang berundak-undak, perbaikan
toilet, pembelian software pembelajaran, sehingga nantinya sekolah ini
diharapkan dapat menerima semua anak sesuai dengan kebutuhannya masing-masing,
termasuk anak yang mempunyai hambatan fisik.
Evaluasi
Evaluasi rancangan pengembangan sekolah
menjadi sekolah inklusi harus dilakukan setiap tahun untuk mengetahui sejauh
mana rancangan tersebut dilaksanakan. Evaluasi ini hendaknya dilakukan oleh
pihak pihak guru dan sekolah sebagai pelaksana langsung pendidikan inklusif.
Beberapa indikator yang akan dievaluasi dalam pelaksanaan pendidikan inklusif
ini adalah :
1.
Studi
kasus pada setiap anak yang mengalami kebutuhan khusus, yang meliputi hasil
belajar anak dan keefektifan penanganan anak berkebutuhan khusus di dalam
kelas.
2.
Keberhasilan
rancangan pengembangan yang telah diprogramkan di sekolah.
Rekomendasi
Beberapa
rekomendasi yang diajukan oleh kami diantaranya adalah :
1.
Sekolah
ini merupakan salah satu sekolah yang mempunyai potensi untuk menjadi sekolah
inklusi.
2.
Komponen
guru kelas, guru mata pelajran dan guru pendidikan luar biasa sebagai pelaksana
langsung pendidikan inklusif harus memiliki profesionalitas, identitas dan
kepercayaan diri.
3.
Evaluasi
pendidikan inklusif harus dilakukan secara intensif untuk mengetahu
keberhasilan pelaksanaan pendidikan inklusif.