Tampilkan postingan dengan label Profil Lengkap R.A Kartini dan Kumpulan Buku serta Suratnya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Profil Lengkap R.A Kartini dan Kumpulan Buku serta Suratnya. Tampilkan semua postingan

Jumat, 21 April 2017

Profil Lengkap R.A Kartini dan Kumpulan Buku serta Suratnya

Profil Lengkap R.A Kartini dan Kumpulan Buku serta Suratnya

Biografi


Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun) atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini[1] adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.

R.A Kartini, atau nama panjangnya Raden Adjeng Kartini adalah pahlawan emansipasi wanita R.A Kartini sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini.

Raden Adjeng Kartini adalah keturunan dari kalangan priyayi (kelas bangsawan Jawa) putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, yang menjabat sebagai bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, namun bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, beliau seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari garis keturunan ayahnya, Kartini dapat dilacak hingga Hamengkubuwana VI.

Ayah Kartini pada awalnya adalah seorang wedana di daerah Mayong. Peraturan kolonial pada waktu itu mengharuskan seorang bupati harus beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukan dari bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung dari Raja Madura. Setelah perkawinan itu, ayah Kartini diangkat sebagai bupati di Jepara mengganti  kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.

Kartini anak ke-5 dari 11 bersaudara baik kandung maupun tiri. Dari semua saudara kandung, Kartini adalah anak perempuan paling tua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat sebagai bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai umur 12 tahun, Kartini diijinkan sekolah di ELS (Europese Lagere School) sehingga Kartini berkempatan  belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah umur 12 tahun, ia diharuskan tinggal di dalam rumah (dipingit).

Karena Kartini bisa rbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar secara mendiri dan menulis surat kepada teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukung. Dari buku , koran, dan majalah terbitan Eropa, Kartini menjadi tertarik pada kemajuan berpikir para perempuan Eropa. Timbul keinginan untuk memajukan para perempuan pribumi, karena ia melihat  perempuan pribumi berada dalam status sosial yang rendah.

Kartini sering membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh oleh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah mengenai kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat,ada juga  majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya nampak bahwa Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian dan catatan-catatan. Terkadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya soal emansipasi wanita, tapi juga tentang masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan paravwanita agar bisa memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.

Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.

Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.

Pemikiran

Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).

Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.

Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.

Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.

Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin..." Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.

Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.

Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati Rembang.

Kontroversi

Ada kalangan yang meragukan kebenaran surat-surat Kartini. Ada dugaan J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu, merekayasa surat-surat Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli surat tak diketahui keberadaannya. Menurut almarhumah Sulastin Sutrisno, jejak keturunan J.H. Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah Belanda.

Penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga agak diperdebatkan. Pihak yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini saja, namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember. Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya, karena masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini seperti Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu,Dewi Sartika dan lain-lain.Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Sikapnya yang pro terhadap poligami juga bertentangan dengan pandangan kaum feminis tentang arti emansipasi wanita. Dan berbagai alasan lainnya. Pihak yang pro mengatakan bahwa Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja, melainkan adalah tokoh nasional; artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional.

Kematian Kartini yang mendadak juga menimbulkan spekulasi negatif bagi sebagian kalangan. Seperti diketahui dalam sejarah, Kartini meninggal pascamelahirkan, tepatnya 4 hari setelah melahirkan. Ketika Kartini, mengandung bahkan sampai melahirkan, dia tampak sehat walafiat. Hal inilah yang mengandung kecurigaan. Efatino Febriana, dalam bukunya “Kartini Mati Dibunuh”, mencoba menggali fakta-fakta yang ada sekitar kematian Kartini. Bahkan, dalam akhir bukunya, Efatino Febriana berkesimpulan, kalau kartini mamang mati karena sudah direncanakan. Demikian pula Sitisoemandari dalam buku "Kartini, Sebuah Biografi", menduga bahwa Kartini meninggal akibat permainan jahat dari Belanda. Permainan jahat dari Belanda ingin agar Kartini bungkam dari pemikiran-pemikiran majunya yang ternyata berwawasan kebangsaan.

Ketika Kartini melahirkan, dokter yang menolongnya adalah Dr van Ravesten, dan berhasil dengan selamat. Selama 4 hari pascamelahirkan, kesehatan Kartini baik-baik saja. Empat hari kemudian, dr van Ravesten menengok keadaan Kartini, dan ia tidak khawatir akan kesehatan Kartini. Ketika Ravesten akan pulang, Kartini dan Ravesten menyempatkan minum anggur sebagai tanda perpisahan. Setelah minum anggur itulah, Kartini langsung sakit dan hilang kesadaran, hingga akhirnya meninggal dunia. Sayang, saat itu tak ada autopsi. Meski demikian, pihak keluarga tidak mempedulikan desas-desus yang muncul terkait kematian Kartini, melainkan menerima peristiwa itu sebagai takdir Yang Mahakuasa. Sementara pendapat yang berbeda yang dinyatakan oleh para dokter modern di era sekarang. Para dokter berpendapat Kartini meninggal karena mengalami preeklampsia atau tekanan darah tinggi pada ibu hamil. Namun hal ini juga tidak bisa dibuktikan karena dokumen dan catatan tentang kematian Kartini tidak ditemukan

Nama jalan di Belanda

1.   Utrecht: Di Utrecht Jalan R.A. Kartini atau Kartinistraat merupakan salah satu jalan utama, berbentuk 'U' yang ukurannya lebih besar dibanding jalan-jalan yang menggunakan nama tokoh perjuangan lainnya seperti Augusto Sandino, Steve Biko, Che Guevara, Agostinho Neto.
2.   Venlo: Di Venlo Belanda Selatan, R.A. Kartinistraat berbentuk 'O' di kawasan Hagerhof, di sekitarnya terdapat nama-nama jalan tokoh wanita Anne Frank dan Mathilde Wibaut.
3.   Amsterdam: Di wilayah Amsterdam Zuidoost atau yang lebih dikenal dengan Bijlmer, jalan Raden Adjeng Kartini ditulis lengkap. Di sekitarnya adalah nama-nama wanita dari seluruh dunia yang punya kontribusi dalam sejarah: Rosa Luxemburg, Nilda Pinto, Isabella Richaards.
4.  Haarlem: Di Haarlem jalan Kartini berdekatan dengan jalan Mohammed Hatta, Sutan Sjahrir dan langsung tembus ke jalan Chris Soumokil presiden kedua Republik Maluku Selatan.

Buku-Buku R.A Kartini


1.   Habis Gelap Terbitlah Terang
Pada 1922, oleh Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka. Armijn Pane, salah seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru, tercatat sebagai salah seorang penerjemah surat-surat Kartini ke dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Ia pun juga disebut-sebut sebagai Empat Saudara.Pada 1938, buku Habis Gelap Terbitlah Terang diterbitkan kembali dalam format yang berbeda dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht. Buku terjemahan
Armijn Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu, suratsurat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Armijn Pane menyajikan surat-surat Kartini dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia membagi kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Pembagian tersebut ia lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan atau perubahan sikap dan pemikiran Kartini selama berkorespondensi. Pada buku versi baru tersebut, Armijn Pane juga menciutkan jumlah surat Kartini. Hanya terdapat 87 surat Kartini dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Penyebab tidak dimuatnya keseluruhan surat yang ada dalam buku acuan Door Duisternis Tot Licht, adalah terdapat kemiripan pada beberapa surat. Alasan lain adalah untuk menjaga jalan cerita agar menjadi seperti roman. Menurut Armijn Pane, surat-surat Kartini dapat dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini pula yang menjadi salah satu penjelasan mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke dalam lima bab pembahasan.

2.   Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya.
Surat-surat Kartini juga diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno. Pada mulanya Sulastin menerjemahkan Door Duisternis Tot Licht di Universitas Leiden, Belanda, saat ia melanjutkan studi di bidang sastra tahun 1972. Salah seorang dosen pembimbing di Leiden meminta Sulastin untuk menerjemahkan buku kumpulan surat Kartini tersebut. Tujuan sang dosen adalah agar Sulastin bisa menguasai bahasa Belanda dengan cukup sempurna. Kemudian, pada 1979, sebuah buku berisi terjemahan Sulastin Sutrisno versi lengkap Door Duisternis Tot Licht pun terbit.Buku kumpulan surat versi Sulastin Sutrisno terbit dengan judul Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. Menurut Sulastin, judul terjemahan seharusnya menurut bahasa Belanda adalah: “Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsa Jawa”. Sulastin menilai, meski tertulis Jawa, yang didamba sesungguhnya oleh Kartini adalah kemajuan seluruh bangsa Indonesia. Buku terjemahan Sulastin malah ingin menyajikan lengkap surat-surat Kartini yang ada pada Door Duisternis Tot Licht. Selain diterbitkan dalam Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, terjemahan Sulastin Sutrisno juga dipakai dalam buku Kartini, Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan Suaminya.

2.   Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904

Buku lain yang berisi terjemahan surat-surat Kartini adalah Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904. Penerjemahnya adalah Joost Coté. Ia tidak hanya menerjemahkan surat-surat yang ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi Abendanon. Joost Coté juga menerjemahkan seluruh surat asli Kartini pada Nyonya Abendanon-Mandri hasil temuan terakhir. Pada buku terjemahan Joost Coté, bisa ditemukan surat-surat yang tergolong sensitif dan tidak ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi Abendanon. Menurut Joost Coté, seluruh pergulatan Kartini dan penghalangan pada dirinya sudah saatnya untuk diungkap.
Buku Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904 memuat 108 surat-surat Kartini kepada Nyonya Rosa Manuela Abendanon-Mandri dan suaminya JH Abendanon. Termasuk di dalamnya: 46 surat yang dibuat Rukmini, Kardinah, Kartinah, dan Soematrie.

4.   Panggil Aku Kartini Saja
Selain berupa kumpulan surat, bacaan yang lebih memusatkan pada pemikiran Kartini juga diterbitkan. Salah satunya adalah Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer. Buku Panggil Aku Kartini Saja terlihat merupakan hasil dari pengumpulan data dari berbagai sumber oleh Pramoedya.5. Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya
Akhir tahun 1987, Sulastin Sutrisno memberi gambaran baru tentang Kartini lewat buku Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya. Gambaran sebelumnya lebih banyak dibentuk dari kumpulan surat yang ditulis untuk Abendanon, diterbitkan dalam Door Duisternis Tot Licht. Kartini dihadirkan sebagai pejuang emansipasi yang sangat maju dalam cara berpikir dibanding perempuan-perempuan Jawa pada masanya. Dalam surat tanggal 27 Oktober 1902, dikutip bahwa Kartini menulis pada Nyonya Abendanon bahwa dia telah memulai pantangan makan daging, bahkan sejak beberapa tahun sebelum surat tersebut, yang menunjukkan bahwa Kartini adalah seorang vegetarian. Dalam kumpulan itu, surat-surat Kartini selalu dipotong bagian awal dan akhir. Padahal, bagian itu menunjukkan kemesraan Kartini kepada Abendanon. Banyak hal lain yang dimunculkan kembali oleh Sulastin Sutrisno.

6.   Aku Mau … Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903
Sebuah buku kumpulan surat kepada Stella Zeehandelaar periode 1899- 1903 diterbitkan untuk memperingati 100 tahun wafatnya. Isinya memperlihatkan wajah lain Kartini. Koleksi surat Kartini itu dikumpulkan Dr Joost Coté, diterjemahkan dengan judul Aku Mau … Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903. “Aku Mau …” adalah moto Kartini. Sepenggal ungkapan itu mewakili sosok yang selama ini tak pernah dilihat dan dijadikan bahan perbincangan. Kartini berbicara tentang banyak hal: sosial, budaya, agama, bahkan korupsi.

Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.


Surat R.A Kartini yang Menggugah Hati

Surat-Surat R.A Kartini
Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati Rembang. 
Raden Adjeng Kartini atau disingkat dengan RA Kartini merupakan seorang tokoh Indonesia yang berhasil membangkitkan martabat kaum wanita Indonesia. dikenal dengan emansipasi wanitanya, wanita yang lahir pada 21 april 1879 ini memperjuangkan kebebasan wanita yang terhambat oleh kebudayaan di jawa. Dia berpendapat bahwa kebudayaan yang ada di jawa pada saat itu menghambat kemajuan kaum wanita. Dia ingin

Dia sendiri tidak diperbolehkan melanjutkan studinya di tingkat yang lebih tinggi oleh orang tuanya. kemudian dia di jodohkan dengan bupati asal rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Namun semua itu tidak melunturkan niatnya untuk memperjuangkan perempuan pribumi di jawa. Dia berhasil membangun sekolah wanita di semarang pada 1912 dan kemudian di surabaya, malang dan daerah daerah lain.

Perjuangan RA Kartini tidak berhenti di itu itu saja. Dia mampu mengubah pandangan menir menir belanda dengan pemikiran pemikirannya yang berisi tentang kondisi social pada saat itu. Terutama kondisi perempuan pribumi. Dia menuangkan pemikirannya tersebut dalam surat surat yang kemudian ia kirimkan ke De Hollandsche Lelie.

Dari surat surat tersebut terdapat ungkapan ungkapan yang menggugah hati pembacanya. Berikut ini 10 ungkapan isi surat kartini yang menggugah hati


1.  Surat Kartini kepada Stella, 18 Agustus 1899

    “Bagi saya hanya ada dua macam keningratan, keningratan fikiran (fikroh) dan keningratan budi (akhlak). Tidak ada manusia yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi saya dari pada melihat orang membanggakan asal keturunannya. Apakah berarti sudah beramal sholih orang yang bergelar macam Graaf atau Baron?… Tidaklah dapat dimengerti oleh pikiranku yang picik ini,…”

2.   Surat kartini kepada Nyonya Abendon, Agustus 1900

    “Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya”.

3.   Surat Kartini kepada Nyonya Abendon, 4 September 1901

    “Pergilah, laksanakan cita-citamu. Bekerjalah untuk hari depan. Bekerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas. Dibawah hukum yang tidak adil dan paham-paham palsu tentang mana yang baik dan mana yang jahat. Pergi! Pergilah! Berjuang dan menderitalah, tetapi bekerja untuk kepentingan yang abadi”.

4.   Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1901

    “Kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri ke dalam tangannya : menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”.

5.   Surat Kartini kepada Nyonya Abendon, 10 Juni 1902

    “Kami sekali-kali tidak hendak menjadikan murid-murid kami menjadi orang setengah Eropa atau orang Jawa yang kebarat-baratan”.

6.   Surat Kartini kepada Nyonya van Kol, 21 Juli 1902

    “Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang agama Islam patut disukai”.

7.   Surat kartini kepada Nyonya Abendanon, 12 Oktober 1902

 “Dan saya menjawab, tidak ada Tuhan kecuali Allah. Kami mengatakan bahwa kami beriman kepada Allah dan kami tetap beriman kepada-Nya. Kami ingin mengabdi kepada Allah dan bukan kepada manusia. Jika sebaliknya tentulah kami sudah memuja orang dan bukan Allah”.

8.   Surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 27 Oktober 1902

 “Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut sebagai peradaban?”

9.   Surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 25 Agustus 1903

 “Ya Allah, alangkah malangnya; saya akan sampai disana pada waktu Puasa-Lebaran-Tahun n Baru, di saat-saat keramaian yang biasa terjadi setiap tahun sedang memuncak. Sudah saya katakana, saya tidak suka kaki saya dicium. Tidak pernah saya ijinkan orang berbuat demikian pada saya. Yang saya kehendaki kasih saying dalam hati sanubari mereka, bukan tata cara lahiriah!”

10. Surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 12 Desember 1903

“Tidak, ia tidak mempunyai ilmu, tidak mempunyai jimat, tidak juga senjata sakti. Kalaupun rumahnya tidak ikut terbakar itu dikarenakan dia mempunyai Allah saja”


Lagu untuk mengebang Perjuangan Raden Adjeng Kartini




Disari dari berbagai sumber