Oleh: Suhartono
Ketika anak inklusif masuk di sekolah umum setingkat SMA, ada rasa
was-was bahkan pembicaraan yang beragam di sekolah rujukan. Beberapa pertanyaan yang sering
diajukan adalah diantaranya; (1) Apakah pendidikan inklusif itu sesungguhnya
dimaksudkan untuk menginklusikan semua kelompok anak atau hanya menginklusikan
anak-anak penyandang cacat? (2)
apakah pendidikan inklusif merupakan suatu prioritas? (3) Bagaimanakah kaitan
antara pendidikan inklusif dengan tantangan-tantangan utama yang dihadapi
pendidikan seperti tingkat putus sekolah, kualitas pendidikan, penyetaraan
kurikulum yang sama ? (4) tidak adanya guru khusus dan sumber materi ajar ? (5)
Apakah pendidikan inklusif sesungguhnya dimaksudkan untuk mendidik SEMUA anak
dari komunitas tertentu di dalam suatu bangunan sekolah yang sama? (6) Apakah
Pendidikan Inklusif sama dengan sekolah Inklusif di sekolah umum? (7) Apakah ini
cara “tepat” untuk melaksanakan pendidikan inklusif ditetarakan disekolah umum?
(8) Bagaimana tentang daya saing antara anak inklusif dengan siswa lain yang
bukan inklusif ? (9) Apakah ada rencana yang jelas yang dapat kita ikuti? ( 10)
Apa yang menjadi tolak ukur atau pedoman sehingga siswa inklusif di samakan
denagn siswa umum.
Dari beberaapa keresahan tersebut
penulis mencoba menggali informasi dari berbagai sumber untuk dapat memenahami nilai,
keyakinan, prinsip dan indikator keberhasilan siswa inklusi dapat bergabung
dengan siswa umun.
Memahami pendidikan Inklusif bagi para fragmatis mungkin bosan
dengan segala perdebatan tentang definisi, tetapi Pendidikan Inklusif memiliki
bermacam-macam pemahaman dan interpretasi yang berimplikasi pada keberhasilan
atau kegagalan dalam keberlangsungannya. Isu utama dalam Pendidikan Inklusif
adalah bahwa Pendidikan Inklusif didasarkan pada hak asasi dan model sosial;
sistem yang harus disesuaikan dengan anak, bukan anak yang menyesuaikan diri
dengan sistem.
Pendidikan inklusif dapat dipandang
sebagai pergerakan yang menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan dan
prinsip-prinsip utama yang berkaitan dengan anak, pendidikan, keberagaman dan
diskriminasi, proses partisipasi dan sumber-sumber yang tersedia. Banyak di
antara hal tersebut merupakan tantangan terhadap status quo, tetapi penting
jika masyarakat dan pembangunan secara keseluruhan ingin menjadi inklusif dan
memberikan manfaat kepada semua warganya.
Kebingungan beberapa teman guru tentang
pendidikan inklusif diakibatkan oleh penggunaan bermacam-macam istilah seperti
inklusi, integrasi, mainstreaming, pendidikan luar biasa dan pendekatan unit
kecil secara bertukar-tukar tanpa kejelasan atau definisi yang pasti.
Istilah-istilah tersebut dilandasi oleh nilai dan keyakinan yang berbeda yang
memiliki konsekuensi yang berbeda pula. Khususnya di negara-negara yang sedang
berkembang seperti di Indonesia, ada pergerakan historis dari pendidikan luar
biasa ke intergrasi, menuju inklusi. Tetapi urutan ini bukan suatu keharusan,
dan bila memungkinkan, akan menghemat waktu dan sumber-sumber jika langsung
melaksanakan inklusi. Praktek mengadakan ‘unit kecil’ di sekolah umum sering
kali disebut inklusi, dan justru hal ini dapat mengakibatkan eksklusi lagi. Ini
sebuah contoh model yang diekspos secara tidak tepat dari negara yang sudah
maju bila diterapkan dinegara yang masih berkembang.
Menuangkan Ide pendidikan inklusif
ke dalam Praktek Banyak orang mengira bahwa untuk menuangkan ide pendidikan
inklusif ke dalam prakteknya hanyalah sekedar memperkenalkan teknik dan metode
yang spesifik agar setiap anak dapat belajar. Metode ini punya tempatnya
sendiri dan dapat memancing perdebatan lebih mendalam tentang pendidikan
inklusif; tetapi dengan metode saja tidak akan menghasilkan program pendidikan
inklusif yang tepat dan berkesinambungan. Tiga ‘bahan utama’ diajukan untuk
menghasilkan organisme yang dinamis dan kuat yang dapat beradaptasi, tumbuh dan
bertahan dalam berbagai konteks. Ketiga bahan utama itu adalah: 1) kerangka
kerja yang kuat - rangka (nilai, keyakinan, prinsip dan indikator
keberhasilan); 2) implementasi dalam konteks dan budaya lokal - daging
(mempertimbangkan situasi praktis, penggunaan sumber-sumber yang tersedia dan
faktor-faktor budaya setempat); 3) partisipasi secara berkesinambungan dan
refleksi diri yang kritis - darah kehidupan (siapa yang harus milibatkan,
bagaimana, apa dan kapan). Secara bersama-sama, ketiga bahan utama tersebut
dapat menghasilkan sistem pendidikan yang fleksibel, kuat, sesuai tempat dan
berkesinambungan yang menginklusikan semua anak.
Partisipasi aktif anak, guru dan
stakeholder utama lainnya dan inisiatif masyarakat. Untuk menghadapi tantangan
dan mengatasi hambatan yang akan selalu ada, partisipasi berkesinambungan dari
semua stakeholder utama adalah suatu keharusan. Kita dapat menggunakan model
yang sederhana untuk menganalisis hambatan dan mengajukan solusi sesuai dengan
konteks masing-masing.
Tujuan ini tidak akan tercapai
kecuali anak dan orang dewasa penyandang cacat secara spesifik ditargetkan dan
dilibatkan karena mereka merupakan unsur masyarakat termiskin di kalangan yang
miskin. Tercapainya pendidikan dasar universal tidak hanya ditandai dengan
masuknya anak secara secara fisik ke sekolah; agar pendidikan dapat menciptakan
perubahan, pendidikan harus relevan dan efektif.
Pendidikan inklusif merupakan
suatu strategi untuk mempromosikan pendidikan universal yang efektif karena
dapat menciptakan sekolah yang responsif terhadap beragam kebutuhan aktual dari
anak dan masyarakat. Pendidikan inklusif menjamin akses dan kualitas.
Semakin banyak pihak sepakat bahwa
pendidikan inklusif harus dipromosikan dan didukung. namun ini masih menyisakan
pertanyaan yang belum terjawab tentang apa sebenarnya arti pendidikan inklusif
itu, baik dalam teori maupun prakteknya. Seolah-olah ada pembiaran dari dinas
yang terkait sejak diterapkan anak inklusi bisa masuk disekolah umum.
Tentu sungguh memprihatinkan guru
umum yang mengajar anak inklusif (terutama tuna netra dan tuna rungu) kurang ada
pelatihan khusus bagaimana metode atau model pembelajaran yang tepat, bahkan
buku penunjang untuk anak inklusif saja belum tesedia. Seakan akan program ini
secara tersurat maupun tersirat dipaksakan. Siapa yang bisa merealisasikan bila
dilapangan kenyataan dan keadaanya masih
seperti itu.
Penulis
berharap ada solusi secepatnya yang tepat dan berkualitas tidak hanya dari
pemerintah untuk menjawab kerisauan para pencetak generasi penurus bangsa, agar
bisa menghasikan generasi berpotensi sesuai yang diharapkan.
Esai ini
di tulis untuk memenuhi tugas pelatihan menulis esai di SMA Negeri 5 Surabaya.