Selasa, 28 Januari 2014

Narasi Nonfiksi

Narasi Nonfiksi

Tentang jurnalistik naratif, jurnalisme sastrawi, “wartawan baru”, narasi panjang, nonfiksi kreatif,berita feature, karangan naratif, Narasi Nonfiksi, dan bla-bla-bla …


jurnalisme sastrawi majalah nonfiksi
Sumber foto: wikipedia.org
__________
Berita profil penyanyi yang ditulis mahapanjang, 15.000 kata, itu terbit di majalah Esquire pada April 1966, dan Esquire membiayai penulisnya hampir $5 ribu atau sekitar Rp50 juta selama mengerjakan liputan khas tersebut. Judulnya “Frank Sinatra Has a Cold”. Ya, judul yang simpel: “Frank Sinatra Kena Flu”.


Bertahun-tahun kemudian koran-koran Amerika Serikat menilai artikel karya wartawan Gay Talese itu sebagai salah satu profil terbaik yang pernah ditulis. Dan sampai sekarang narasi dahsyat itu terus dikutip di buku-buku, dibahas di ruang belajar menulis nonfiksi, dan diajarkan oleh dosen jurnalisme naratif kepada mahasiswanya.



Kalimat pembuka artikel naratif itu: Frank Sinatra, yang sedang memegang segelas wiski di satu tangan dan sebatang rokok di tangan lainnya, berdiri di sudut gelap bar itu di antara dua orang berambut pirang menarik yang duduk menunggunya mengatakan sesuatu. Tapi, ia tidak berkata apa pun; ia telah diam sepanjang malam ….



Kemudian dalam paragraf kedua tertulis: Sinatra sakit. Ia kena satu penyakit yang sangat umum, yang oleh kebanyakan orang akan dianggap sepele. Tapi, ketika penyakit itu diderita oleh Sinatra, ia bisa sangat sedih, depresi berat, panik, bahkan marah. Frank Sinatra sedang kena flu.



Alinea ketiga dimulai dengan kalimat:


Sinatra dengan flu adalah Picasso tanpa cat, Ferrari tanpa bahan bakar ….


Berita perihal selebriti Frank Sinatra dikerjakan Gay Talese selama tiga bulan saat ia dikontrak majalah Esquire untuk satu tahun dengan total enam berita. Sebagai upah untuk keenam narasi itu, “Saya mendapat $15.000 [sekitar Rp150 juta], uang yang sangat banyak pada zaman itu. Enam tulisan sepertinya tidak banyak, tapi sesungguhnya begitu,” kata Talese [Nieman Storyboard].



Editor majalah kaum pria yang terbit mulai tahun 1933 itu sempat khawatir karena Sinatra, penyanyi berusia 50 tahun yang tengah disoroti pers dalam pelbagai isu, selama bertahun-tahun selalu menolak wawancara dengan wartawannya, dan ternyata Sinatra pun mengelak dari Talese. Tapi, pantang menyerah, selama tiga bulan sang wartawan “diam-diam” terus menguntiti Sinatra, menguping ucapannya, mengamati gerak-geriknya, dan menginterviu orang-orang dekatnya, termasuk para pengawal pribadinya.


Gay Talese: wartawan narasi panjang


pengarang nonfiksi kreatif
Foto: amazon.com
__________

Sebelum menulis profil penyanyi Frank Sinatra, wartawan Gay Talese pada 1962 menulis berita bergenre serupa, jurnalisme naratif, juga di majalah Esquire, dengan tajuk “Joe Louis: The King as a Middle-aged Man”.



Berita bergaya fiksi itu dibaca oleh jurnalis yang juga novelis Tom Wolfe. “Tidak dibuka seperti lazimnya artikel majalah, tapi dengan adegan yang intim layaknya cerpen,” ujar Wolfe, takjub bagaimana Talese bisa menulis liputan berita yang hangat dan dekat dengan pembacanya.



“Hai, Sayang!” Joe Louis memanggil istrinya, yang menunggunya di bandara Los Angeles.

Istrinya tersenyum, berjalan ke arahnya, lalu berjinjit untuk menciumnya tapi tiba-tiba berhenti.

“Joe,” katanya, “di mana dasimu?”

“Ah, Sayang,” katanya sambil mengangkat bahu, “aku keluar sepanjang malam di New York dan tak punya waktu.”

“Sepanjang malam!” dia menukas. “Setiap kau ke sini, yang kaulakukan adalah tidur, tidur, tidur.”

“Sayang,” kata Joe Louis, menyeringai lesu, “aku ini sudah tua.”

“Ya,” dia setuju, “tetapi ketika kau ke New York, kau mencoba untuk jadi muda kembali.” [New York Magazine.]



Sebelum menulis untuk majalah Esquire, Gay Talese bekerja di koran harian terkenal The New York Times selama sepuluh tahun. Namun, ia merasa tidak puas karena keterbatasan format koran untuk menulis artikel-artikel panjang, sehingga ia beralih ke majalah.


Tom Wolfe: jurnalisme baru


jurnalisme baru sastrawi
Foto: Michael O’Neill/time.com
__________

Novelis cum jurnalis Amerika Serikat yang selalu berpakaian serba putih Tom Wolfe, yang terkesima membaca berita sastrawi Gay Talese itu, dikenal sebagai pencetus new journalismatau “jurnalisme baru”. Ia mengawali kariernya di koran tua The Republican di Springfield, Massachusetts, dan sesudahnya di harian The Washington Post sebagai reporter politik, koranNew York Herald Tribune sebagai penulis feature, sebelum kemudian di majalah Esquire sebagai penulis narasi panjang.



Tertarik dengan gaya penulisan Talese, Wolfe pun menaklik karya-karya berita “feature super”, lalu bersama E.W. Johnson pada 1973 menyunting dan menerbitkan buku antologi The New Journalism, setebal 394 halaman, berisi 23 berita panjang naratif karya beberapa wartawan, termasuk tulisan Truman Capote dalam buku yang sangat termasyhur In Cold Blood, selain karya-karya Wolfe sendiri. Para penulis antologi itulah yang dijuluki Wolfe sebagai “wartawan baru”.



Dalam bukunya Tom Wolfe menjelaskan apa itu “jurnalisme baru”, yang kemudian juga dikenal dengan istilah literary journalism (jurnalisme sastrawi), creative nonfiction (nonfiksi kreatif), dan narrative journalism(jurnalisme naratif).


Apa jurnalisme naratif: menceritakan berita



Saya sendiri meringkasnya dengan istilah “bukan berita biasa”, “featuresuper”, “berita nan panjang lagi terasa”, “menceritakan berita”, dan “jurnalisme ‘gaya manusia’”.


Karya jurnalisme naratif mesti berkisah, tidak semata-mata berkata.


Berita nonfiksi kreatif, dalam beberapa hal, serupa atau mirip dengan beritafeature, antara lain: tidak memakai pola piramida terbalik seperti padahard/straight news atau berita biasa di koran harian atau berita pendek di situs pers.



Menurut Tom Wolfe dalam manifestonya, ada empat hal pokok yang membedakan jurnalisme sastrawi dari jurnalisme biasa.



Pertama, komposisi adegan demi adegan seperti yang berlaku dalam sinematografi. Untuk itu, menurut Wolfe, sebisa mungkin wartawan tidak cuma mengandalkan informasi latar belakang dari tangan kedua, tapi langsung menyaksikan peristiwa atau mendengarkan informasi dari tangan pertama.



Kedua, dialog. Dengan merekam pembicaraan semaksimal mungkin, wartawan tidak hanya dapat melaporkan kata-kata narasumbernya, tapi juga menjelaskan dan membangun karakter tokoh-tokoh dalam beritanya.



Ketiga, sudut pandang orang ketiga. Tidak hanya melaporkan fakta semata, wartawan mesti menyuguhkan kepada pembacanya suasana yang nyata dari sebuah peristiwa dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Salah satu caranya adalah dengan memperlakukan tokoh utama berita seperti karakter-karakter di kisah novel. Apa motivasi mereka? Apa yang mereka pikirkan?



Dan keempat, detail. Wartawan jurnalisme naratif mengamati kebiasaan, gerakan tubuh, dan kondisi di sekeliling tokoh beritanya, bahkan mencatat apa makanan kegemarannya dan bagaimana raut tubuhnya saat berbicara. Wolfe menyebut teknik ini sebagai alat untuk “autopsi sosial”, yang membuat kita bisa melihat orang lain seperti halnya mereka melihat diri mereka sendiri.


Pemekaran 5W + 1H dalam jurnalistik naratif



Setiap wartawan, termasuk reporter pemula, paham (dan mestinya wajib tahu) rumus dasar menulis berita 5W + 1H. Dalam jurnalisme naratif, standar berita biasa itu kemudian dikembangkan oleh Roy Peter Clark, seorang penulis dan guru menulis terandal The Poynter Institute:


siapa menjadi karakterapa menjadi plotdi mana menjadi settingkapanmenjadi kronologimengapa menjadi motif; dan bagaimana menjadinarasi.


Menurut Roy Peter Clark, tugas utama wartawan adalah melaporkan berita dengan jelas kepada publik, dan strategi penulisan naratif telah dicoba dan tepat untuk tugas itu: mengatur adegan, mengembangkan karakter, memakai dialog secara mangkus, dan membangun sudut pandang.



Septiawan Santana Kurnia pernah menukil di majalah Pantau: “Jurnalisme naratif adalah bentuk cangkokan, hasil perkawinan silang keterampilan penuturan cerita dan kemampuan seorang wartawan dalam membuat drama, dan kegiatan mengamati orang, tempat, dan kejadian yang nyata,” kata Robert Vare, yang pernah bekerja sebagai redaktur majalah The New Yorkerdan majalah The Rolling Stone, seperti ditulis majalah Nieman Reports.


“Jika saya mengatakan bahwa Raja telah wafat, dan kemudian Ratu wafat, ini bukan naratif. Tapi, jika saya mengatakan bahwa Raja telah wafat, dan kemudian Ratu wafat karena patah hatinya, itulah naratif,” kata Robert Vare.


Apa itu TILIL?

Kata TILIL, kependekan dari “tanya itu lagi itu lagi”, saya pakai sebagai muradif untuk FAQ (frequently asked questions). Saya menemukan singkatan unik itu di blog pribadi dosen Universitas Indonesia Rahmat M. Samik-Ibrahim. Halaman TILIL ini berisi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang [akan] sering diajukan pembaca blog Narasi Nonfiksi.

TILIL Narasi Nonfiksi: tanya itu lagi itu lagi


Ⓣ Situs macam apa Narasi Nonfiksi dan apa saja isinya?

Ⓙ Blog ini berisi karya jurnalistik berbentuk esai, berita feature, dan nonfiksi naratif. Agar lebih jelas, baca artikel “Apa Narasi Nonfiksi?”.



Ⓣ Nonfiksi naratif? Jenis karya tulis macam apa pula itu?

Ⓙ Karya tulis berita yang digarap dengan teknik penulisan indah bergaya fiksi, seperti cerpen atau novel. Ia juga kerap disebut dengan istilahjurnalisme sastrawi, jurnalisme baru, jurnalisme naratif, dan nonfiksi kreatif. Silakan baca artikel yang saya sebutkan di atas. Di sana sudah sangat lengkap saya uraikan.



Ⓣ Kapan blog ini mulai terbit?

Ⓙ Tepat pada “tanggal ajaib” 11-12-13 (11 Desember 2013). Artikel pertama yang saya tulis di Narasi Nonfiksi adalah esai “Jurnalisme ‘Gaya Manusia’”.


Nomor HP, jadi teman


Ⓣ Siapa wartawan Jarar Siahaan pemilik blog ini?

Ⓙ Jawabannya juga sudah terperinci di laman “Apa Narasi Nonfiksi?”.



karya tulis jurnalisme sastra
Ⓣ Saya sudah membacanya. Tertulis di situ bahwa anda “pernah menikah”. Apakah anda tidak ingin menikah lagi? Boleh tahu enggak nomor PIN BB atau ponsel anda? Bolehkah kita jadi teman?

Ⓙ Jawaban untuk pertanyaan pertama: tidak, kecuali nanti anak saya mengizinkan, dan itu pun kalau saya ingin. Jawaban untuk yang kedua: saya tidak punya BB dan tidak akan pernah, dan nomor ponsel bukan untuk dibagikan kepada sembarang orang. Untuk yang ketiga:

di dunia maya internet, semua orang adalah kawan saya, dan semua orang adalah lawan saya.



Ⓣ Kenapa anda tidak ingin menikah lagi? Apakah menunggu orang yang tepat? Atau jangan-jangan anda sudah mati rasakah?

Ⓙ Anda pasti doyan nonton gosip infotainmen di TV, mau tahu saja urusan pribadi orang lain.


Kebenaran berita, integritas wartawan


Ⓣ Oke, maaf. Sekarang “kembali ke laptop”. Blog anda ini kan hanya anda kelola seorang diri. Tidak ada pemimpin umum, pemimpin redaksi, redaktur, editor bahasa, koordinator liputan, dan reporter seperti di situs-situs berita. Bagaimana saya bisa tahu dan percaya bahwa berita-berita yang anda laporkan telah sesuai dengan fakta lapangan dan tidak melanggar Kode Etik Jurnalistik?

Ⓙ Bahkan media pers besar dengan puluhan atau ratusan karyawan bertitel S-1 dan S-2 pun sering asal-asalan menerbitkan berita. Bacalah artikel “Berita Tak Layak Siar” ini. Dari sana nanti anda akan bisa menilai apakah saya berkualitas dan berintegritas sebagai jurnalis atau tidak.



Ⓣ Oke, sudah saya baca. Tapi, karena berita di Narasi Nonfiksi anda liput, tulis, dan edit sendiri, apakah ada jaminan bahwa berita itu mengandung kebenaran dan bukan bohong?

Ⓙ Ya, saya jamin. Selama hampir 20 tahun sebagai wartawan, hal yang paling saya takuti dan hindari adalah berdusta, menjiplak, dan ketidakakuratan. Saya sangat menjaga kepercayaan pembaca tulisan-tulisan saya selama ini di koran. Soal makna kebenaran dalam berita pers, sebaiknya anda baca artikel “Kebenaran Itu Relatif”.


Penulis artikel yang tak beriman


Ⓣ Terima kasih, saya sudah membacanya. Saya tidak sedang ingin mencampuri masalah pribadi anda, tapi ini ada kaitannya dengan profesi anda sebagai penulis berita. Begini. Dari kicauan di Twitter anda, @ja_rar, danHalaman Facebook anda, saya menilai anda bukan orang yang saleh beribadah, padahal agama anda Islam. Bagaimana saya, sebagai pembaca, bisa memercayai karya tulis seorang jurnalis yang tidak beriman kuat seperti anda?

Ⓙ Saya jadi terbahak-bahak menyimak pertanyaan anda. Sangat lucu … (jika bukan picik). Pernahkah anda perhatikan berita di koran atau televisi, begitu banyaknya PNS, bupati, jaksa, hakim, menteri, dan anggota DPR yang korupsi padahal selama ini mereka dikenal alim, sebagai sintua gereja, bergelar haji, dan selalu mengenakan jilbab? Masih ingatkah anda dengan Menteri Agama kita dulu yang dipenjara lantaran mengorupsi dana haji? Di kampung saya, Kabupaten Toba Samosir, pernah seorang bupati menilap Rp3 miliar hanya beberapa bulan setelah ia dilantik sebagai kepala daerah, dan ia juga adalah seorang pengetua gereja yang mewajibkan semua PNS-nya untuk memulai dan mengakhiri rapat-rapat dengan doa [baca artikel terkait: kisah nyata “Surat PNS Jujur kepada Istrinya”].

Anda lihat?

Mereka berbohong kepada publik. Mereka mencuri uang publik. Mereka mengingkari sumpah jabatan. Dan mereka tetap taat menjalankan ritus-ritus agama. Dan mereka amat khusyuk saat menyembah Tuhan mereka.

Jadi?

Kejujuran seorang penulis pun tidak berkaitan dengan apa agamanya atau seberapa dalam imannya.

Masih mengenai wartawan-dan-agama ini. Suatu ketika saya membaca komentar seorang jurnalis yang juga pengajar ilmu jurnalistik. Ia berkata bahwa satu-satunya kebenaran di dunia ini adalah agama Islam. Mungkin, bila anda muslim, anda akan serta-merta setuju dengan opininya, dan itu tidak salah. Tapi, dalam posisi anda sebagai pembaca media dan posisinya sebagai wartawan, anda mesti meragukan artikel-artikelnya. Telitilah kembali nukilan di artikel saya tadi:

Bukankah bias pandangan seorang wartawan, karena latar belakang … suku, atau agamanya, bisa membuat si wartawan menghasilkan penafsiran yang berbeda akan kebenaran?


Wartawan wajib independen


Ⓣ Hm …, benar juga ya. Jadi, wartawan itu mesti independen?

Ⓙ Tepat. Itulah kata kunci pekerjaan jurnalisme. Dan syarat itu pula yang paling banyak tidak dipenuhi oleh wartawan Indonesia.

Bayangkan, misalnya sekarang kita balik: saya beragama Kristen, dan anda pemeluk Islam. Saya meliput berita kerusuhan antara warga Kristen dan Islam di sebuah desa. Jika saya tidak independen, dan berprinsip seperti si pengajar jurnalistik tadi (berpihak pada agama saya), pastilah saya akan menulis berita itu dengan tidak profesional: berat sebelah. Saya akan memakai teknik eufemisme untuk mengaburkan kesalahan kelompok warga Kristen dan menulis dengan kalimat hiperbolis ketika membahas pihak warga Islam. Akibatnya, pembaca tidak akan mengetahui fakta lapangan yang sesungguhnya. Dan tidakkah anda, sebagai umat Islam, akan sangat menjengkeli saya?

Hal yang sama akan terjadi jika saya pengurus partai politik. Saat memberitakan pemilu, saya akan berupaya menyerang partai lain, memuji-muji partai saya, dan menyembunyikan kebobrokan partai saya. Akhirnya, masyarakat tidak memperoleh berita yang benar lewat tulisan-tulisan saya.


Karya tulis nonfiksi naratif


Ⓣ Ya, benar. Saya jadi paham: wartawan atau penulis laporan berita harus bersikap independen ketika menulis. Sekarang tentang karya tulis bergenre narasi nonfiksi. Sulitkah mengerjakan berita panjang naratif? Apakah lebih sulit daripada menulis berita feature? Jika misalnya saya sudah terbiasa menulis cerpen atau puisi, apakah saya sudah bisa menulis berita naratif? Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menggarap narasi nonfiksi? Biayanya mahal enggak?


majalah digital jurnalisme sastra


Ⓙ Jawaban saya bisa menyesatkan anda: tidak sulit.

Dibandingkan dengan berita feature, ya, tentu saja lebih susah menulis narasi panjang. Namun, kalau anda sudah sering menulis feature maka menulis artikel naratif yang panjang akan “semudah mengurangi jam tidur mengorok” anda.

Urutannya: anda mesti lebih dulu menguasai teknik dasar menulis berita biasa (pola piramida terbalik, unsur berita 5W + 1H, nilai berita, mencium sudut pandang, wawancara, kode etik pers, dsb.), baru kemudian mengerjakan berita feature (sembari mengasah ilmu tata kalimat, kosakata, tanda baca, dan gaya bahasa), dan setelah itu barulah mantap menulis nonfiksi naratif yang panjang.

Percayalah, jurnalis yang nekat menulis berita feature tanpa lebih dulu cakap dalam berita biasa, atau nekat langsung menulis narasi panjang tanpa lebih dulu mahir dalam feature, karyanya akan tawar dan rawan diperkarakan.

Ada orang menyangka kalau sudah hebat menulis cerpen atau novel maka sudah pasti mampu menulis berita feature atau berita narasi panjang. Salah besar! Laporan feature dan nonfiksi naratif tidak semata-mata disusun dengan kepiawaian merangkai kata-kata elok berbunga-bunga.

Cerpenis barangkali terbiasa, dan memang sah, menulis kalimat semacam “Seluruh penduduk desa pun menangisi kepergian guru yang baik itu.” Jangan coba-coba menulis kalimat seperti itu di dalam karya jurnalistik! Bagaimana anda tahu bahwa seluruh warga bersedih? Apakah anda menanyai mereka satu demi satu? Itu baru perkara satu kata yang mudah, belum dengan kalimat majemuk bersilang selimpat yang lebih pelik.

Tempo yang diperlukan untuk mengerjakan nonfiksi naratif panjang (perhatikan: panjang, tidak sekadar naratif) bisa dibilang “sangat lama”. Berita biasa di koran harian, misalnya, bisa digarap hanya dalam waktu tiga–empat jam, mulai meliput/wawancara, menulis, hingga mengedit. Berita pendek di situs berita macam detik.com, yang mengutamakan kecepatan, bisa diterbitkan cuma kurang dari satu jam setelah diliput. Berita feature 1.500 kata bisa membutuhkan waktu setengah hari, sejak peliputan di lapangan sampai penyuntingan laik cetak, apalagi penulis feature kerap harus bolak-balik membongkar kalimat agar karangannya itu mengalir dan enak dibaca. Menulis berita narasi panjang, katakanlah 5.000 kata, memerlukan waktu dua hari, tiga hari, satu minggu, atau bahkan lebih. Itu tergantung banyak faktor. Mengerjakan narasi mahapanjang, seperti contoh-contoh yang saya ceritakan di laman “Apa Narasi Nonfiksi?”, memakan waktu berbulan-bulan, bahkan ada yang sampai bertahun.

Biaya wartawan untuk mengerjakan artikel nonfiksi naratif jelas lebih besar dibandingkan ongkos berita biasa, apalagi jika narasumbernya banyak dan tinggal di tempat yang berbeda-beda, atau lokasi liputannya jauh. Kalau mengerjakannya butuh dua minggu, termasuk untuk melakukan riset data ke sana kemari, menulis draf, dan menyunting, anda bisa hitung sendiri.



Ⓣ Saya senang membaca berita feature, laporan narasi panjang, dan opini anda di blog ini, dan pengetahuan saya jadi bertambah soal dunia pers dan tulis-menulis. Saya ingin membantu. Apakah boleh saya memberi donasi?

Ⓙ Terima kasih Narasi Nonfiksi bermanfaat buat anda atau menghibur anda, tapi saat ini saya belum bisa menerima donasi. Saya masih harus mempertimbangkan beberapa hal. Barangkali suatu hari nanti saya akan dapat menerimanya. Untuk saat ini, bantuan anda cukup dengan membagikan artikel Narasi Nonfiksi ke akun media sosial atau blog pribadi anda, atau menceritakannya kepada teman-teman anda.


Koreksi, hak jawab


jurnalisme sastra nonfiksi kreatif
Ⓣ Bagaimana jika ada berita atau esai opini anda yang melanggar Kode Etik Jurnalistik atauPedoman Pemberitaan Media Siber?

Ⓙ Silakan anda laporkan lewat formulir pengaduan Dewan Pers, atau sampaikan kepada saya lewat email jarar@nonfiksi.com. Bila ternyata koreksi atau komplain anda itu benar, dan saya salah, saya akan memperbaiki artikel tersebut dan menambahkan catatan ralat bahwa anda telah mengoreksi atau mengeluhkannya. Agar koreksi dan keluhan anda mendapat respons dari saya, anda harus menyebutkan identitas diri yang benar dan jelas.

Jika anda adalah narasumber atau orang yang terkait dengan berita/esai tersebut, anda bisa mengirim hak jawab kepada saya, dan saya pasti akan menerbitkannya jika memenuhi syarat. Sesuai aturan hak jawab, anda mesti mengirim hak jawab secara tertulis, dengan bertanda tangan, dengan fotokopi identitas diri anda (KTP yang masih berlaku), dan dengan alamat pengirim yang lengkap (sebaiknya dengan nomor telepon/ponsel anda).


Komentar, surat, mengutip artikel


Ⓣ Bagaimana caranya agar bisa menulis komentar pada artikel-artikel Narasi Nonfiksi dan agar foto saya muncul di komentar tersebut?

Ⓙ Mudah. Jika anda sudah punya email di Gmail, langsung saja buat profil Google Plus anda, dan setelah itu anda bisa menulis komentar di blog Narasi Nonfiksi. Kelebihan komentar dengan Google Plus: anda bisa mengedit komentar anda yang telah terbit. Baca laman “Opini Pembaca” agar lebih mendetail.



Ⓣ Mengapa anda tidak membalas komentar saya?

Ⓙ Tidak semua komentar harus saya balas, dan tidak semua pertanyaan mesti saya jawab. Tapi, saya pastikan bahwa semua komentar, termasuk komentar anda, saya baca. Tulislah opini yang bagus, dan lihatlah saya akan bereaksi membalasnya atau mengeklik plus one (+1) pada komentar anda.



Ⓣ Kenapa surat yang saya kirim ke email jarar@nonfiksi.com tidak anda balas?

Ⓙ Barangkali karena surat anda masuk ke kotak spam, nanti saya cek, atau karena saya merasa tidak perlu membalasnya.



Ⓣ Bolehkah saya copy paste artikel Narasi Nonfiksi ke blog saya atau ke koran teman saya?

Ⓙ Tidak boleh asal salin-dan-tempel. Mengutip secukupnya dan secara terbatas boleh, dan itu pun ada aturannya. Silakan baca ketentuan di laman “Izin Mengutip”.


Akun media sosial Jarar Siahaan


Ⓣ Apa-apa saja media sosial yang anda pakai? Bolehkah saya ikuti?

Ⓙ “Gan, minta izin follow ya” adalah basa-basi klise. Walau begitu, ini dia:Facebook Narasi Nonfiksi, Facebook Menulis Kalimat, Twitter @ja_rar, Google Plus +Jarar Siahaan, Google Plus +Nonfiksi, dan Google Plus +Bahasa Indonesia: Tata Kalimat.


Dan bla-bla-bla …


Ⓣ Pertanyaan terakhir. Anda mau enggak jadi teman dekat saya?

Ⓙ Sudah? Itu saja? Baiklah. Selamat membaca karya tulis saya di Narasi Nonfiksi, dan sampaikan kepada pacar atau teman sekantor anda. Tabik!


Balige, 11-12-13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar