Sabtu, 04 November 2017

KERESAHAN YANG BELUM TERJAWAB MASUKNYA SISWA INKLUSIF DISEKOLAH UMUM


Oleh: Suhartono



Foto: Dokumen SMA Negeri 8 surabaya


Ketika anak inklusif masuk di sekolah umum setingkat SMA, ada rasa was-was bahkan pembicaraan yang beragam di sekolah rujukan.  Beberapa pertanyaan yang sering diajukan adalah diantaranya; (1) Apakah pendidikan inklusif itu sesungguhnya dimaksudkan untuk menginklusikan semua kelompok anak atau hanya menginklusikan anak-anak penyandang cacat? (2) apakah pendidikan inklusif merupakan suatu prioritas? (3) Bagaimanakah kaitan antara pendidikan inklusif dengan tantangan-tantangan utama yang dihadapi pendidikan seperti tingkat putus sekolah, kualitas pendidikan, penyetaraan kurikulum yang sama ? (4) tidak adanya guru khusus dan sumber materi ajar ? (5) Apakah pendidikan inklusif sesungguhnya dimaksudkan untuk mendidik SEMUA anak dari komunitas tertentu di dalam suatu bangunan sekolah yang sama? (6) Apakah Pendidikan Inklusif sama dengan sekolah Inklusif di sekolah umum? (7) Apakah ini cara “tepat” untuk melaksanakan pendidikan inklusif ditetarakan disekolah umum? (8) Bagaimana tentang daya saing antara anak inklusif dengan siswa lain yang bukan inklusif ? (9) Apakah ada rencana yang jelas yang dapat kita ikuti? ( 10) Apa yang menjadi tolak ukur atau pedoman sehingga siswa inklusif di samakan denagn siswa umum.

Dari beberaapa keresahan tersebut penulis mencoba menggali informasi dari berbagai sumber untuk dapat memenahami nilai, keyakinan, prinsip dan indikator keberhasilan siswa inklusi dapat bergabung dengan siswa umun.

Memahami pendidikan Inklusif bagi para fragmatis mungkin bosan dengan segala perdebatan tentang definisi, tetapi Pendidikan Inklusif memiliki bermacam-macam pemahaman dan interpretasi yang berimplikasi pada keberhasilan atau kegagalan dalam keberlangsungannya. Isu utama dalam Pendidikan Inklusif adalah bahwa Pendidikan Inklusif didasarkan pada hak asasi dan model sosial; sistem yang harus disesuaikan dengan anak, bukan anak yang menyesuaikan diri dengan sistem.

Pendidikan inklusif dapat dipandang sebagai pergerakan yang menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan dan prinsip-prinsip utama yang berkaitan dengan anak, pendidikan, keberagaman dan diskriminasi, proses partisipasi dan sumber-sumber yang tersedia. Banyak di antara hal tersebut merupakan tantangan terhadap status quo, tetapi penting jika masyarakat dan pembangunan secara keseluruhan ingin menjadi inklusif dan memberikan manfaat kepada semua warganya.

Kebingungan beberapa teman guru tentang pendidikan inklusif diakibatkan oleh penggunaan bermacam-macam istilah seperti inklusi, integrasi, mainstreaming, pendidikan luar biasa dan pendekatan unit kecil secara bertukar-tukar tanpa kejelasan atau definisi yang pasti. Istilah-istilah tersebut dilandasi oleh nilai dan keyakinan yang berbeda yang memiliki konsekuensi yang berbeda pula. Khususnya di negara-negara yang sedang berkembang seperti di Indonesia, ada pergerakan historis dari pendidikan luar biasa ke intergrasi, menuju inklusi. Tetapi urutan ini bukan suatu keharusan, dan bila memungkinkan, akan menghemat waktu dan sumber-sumber jika langsung melaksanakan inklusi. Praktek mengadakan ‘unit kecil’ di sekolah umum sering kali disebut inklusi, dan justru hal ini dapat mengakibatkan eksklusi lagi. Ini sebuah contoh model yang diekspos secara tidak tepat dari negara yang sudah maju bila diterapkan dinegara yang masih berkembang.

Menuangkan Ide pendidikan inklusif ke dalam Praktek Banyak orang mengira bahwa untuk menuangkan ide pendidikan inklusif ke dalam prakteknya hanyalah sekedar memperkenalkan teknik dan metode yang spesifik agar setiap anak dapat belajar. Metode ini punya tempatnya sendiri dan dapat memancing perdebatan lebih mendalam tentang pendidikan inklusif; tetapi dengan metode saja tidak akan menghasilkan program pendidikan inklusif yang tepat dan berkesinambungan. Tiga ‘bahan utama’ diajukan untuk menghasilkan organisme yang dinamis dan kuat yang dapat beradaptasi, tumbuh dan bertahan dalam berbagai konteks. Ketiga bahan utama itu adalah: 1) kerangka kerja yang kuat - rangka (nilai, keyakinan, prinsip dan indikator keberhasilan); 2) implementasi dalam konteks dan budaya lokal - daging (mempertimbangkan situasi praktis, penggunaan sumber-sumber yang tersedia dan faktor-faktor budaya setempat); 3) partisipasi secara berkesinambungan dan refleksi diri yang kritis - darah kehidupan (siapa yang harus milibatkan, bagaimana, apa dan kapan). Secara bersama-sama, ketiga bahan utama tersebut dapat menghasilkan sistem pendidikan yang fleksibel, kuat, sesuai tempat dan berkesinambungan yang menginklusikan semua anak.

Partisipasi aktif anak, guru dan stakeholder utama lainnya dan inisiatif masyarakat. Untuk menghadapi tantangan dan mengatasi hambatan yang akan selalu ada, partisipasi berkesinambungan dari semua stakeholder utama adalah suatu keharusan. Kita dapat menggunakan model yang sederhana untuk menganalisis hambatan dan mengajukan solusi sesuai dengan konteks masing-masing.

Tujuan ini tidak akan tercapai kecuali anak dan orang dewasa penyandang cacat secara spesifik ditargetkan dan dilibatkan karena mereka merupakan unsur masyarakat termiskin di kalangan yang miskin. Tercapainya pendidikan dasar universal tidak hanya ditandai dengan masuknya anak secara secara fisik ke sekolah; agar pendidikan dapat menciptakan perubahan, pendidikan harus relevan dan efektif.

Pendidikan inklusif merupakan suatu strategi untuk mempromosikan pendidikan universal yang efektif karena dapat menciptakan sekolah yang responsif terhadap beragam kebutuhan aktual dari anak dan masyarakat. Pendidikan inklusif menjamin akses dan kualitas.

Semakin banyak pihak sepakat bahwa pendidikan inklusif harus dipromosikan dan didukung. namun ini masih menyisakan pertanyaan yang belum terjawab tentang apa sebenarnya arti pendidikan inklusif itu, baik dalam teori maupun prakteknya. Seolah-olah ada pembiaran dari dinas yang terkait sejak diterapkan anak inklusi bisa masuk disekolah umum.

Tentu sungguh memprihatinkan guru umum yang mengajar anak inklusif (terutama tuna netra dan tuna rungu) kurang ada pelatihan khusus bagaimana metode atau model pembelajaran yang tepat, bahkan buku penunjang untuk anak inklusif saja belum tesedia. Seakan akan program ini secara tersurat maupun tersirat dipaksakan. Siapa yang bisa merealisasikan bila dilapangan kenyataan dan keadaanya  masih seperti itu.

            Penulis berharap ada solusi secepatnya yang tepat dan berkualitas tidak hanya dari pemerintah untuk menjawab kerisauan para pencetak generasi penurus bangsa, agar bisa menghasikan generasi berpotensi sesuai yang diharapkan.














Esai ini di tulis untuk memenuhi tugas pelatihan menulis esai di SMA Negeri 5 Surabaya.